BAHAN
AJAR
QUR’AN
HADITS KELAS IX SEMESTER 1
MADRASAH
TSANAWIYAH
Dosen
Pembimbing : Bapak Muhammad Samsul Ulum, M.A
BAHAN
AJAR
QUR’AN
HADITS KELAS IX SEMESTER 1
MADRASAH
TSANAWIYAH
|
|||
Disusun
Oleh :
Innes
Durrotun N. 12110088
M. Aqiel
Ridho 12110094
Warda
Putri R. 12110100
Neneng
Kholilatur R. 12110185
Dimas
Ramdhan M.K 12110192
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014
Hanya untaian kalimat puji dan syukur yang dapat kami
panjatkan kepada Allah SWT tanpa henti. Sebab karena ma’unah dan inayahNya saja
proses penyusunan Bahan Ajar Al Qur’an Hadits untuk Kelas IX
Semester I yang sekarang berada di tangan pembaca dapat dirampungkan. Sebab,
sebesar apapun keinginan dan semangat seorang hamba untuk melakukan sesuatu,
namun tanpa pertolongan dan hidayah Allah, mustahil keinginan dan citanya dapat
terwujud. Karena pada hakikatnya segala daya dan upaya hanyalah milik Allah
SWT.
Dalam penyusunan bahan ajar ini kami telah berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput
dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata
bahasa. Tetapi walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin menyelesaikan
bahan ajar meskipun tersusun sangat sederhana.
Kami menyadari tanpa kerja sama antara dosen pengampu dan
kami sebagai penulis serta beberapa kerabat yang memberi berbagai masukan yang
bermanfaat bagi kami demi tersusunnya bahan ajar ini. Untuk itu kami
mengucapakan terima kasih kepada pihak yang tersebut diatas yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran
penyusunan bahan ajar ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami berserah diri. Semoga
apa yang telah kami upayakan bisa memberikan manfaat yang maksimal dan
mendapatkan ridhaNya. Semoga Allah SWT juga membersihkan dan memaafkan
niat-niat yang kurang tulus. Adapaun shalawat dan salam, semoga tetap tercurah
kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Amin.
Malang,
Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB
1
QS. Al-Mujadalah: 11
Standar
Kompetensi:
1. Memahami Ajaran QS. Al-Mujadalah:11 tentang ilmu.
|
Kompetensi
Dasar:
1.1 Membaca QS. Al-Mujadalah:11 dengan tartil.
1.2 Menerjemahkan QS. Al-Mujadalah: 11 dengan baik dan benar.
1.3 Menyebutkan
etika dalam majlis.
1.4 Menjelaskan
hubungan antara iman dan ilmu.
1.5 Menganalisis
manfaat beriman dan berilmu.
1.6 Menunjukkan
perilakku yang senantiasa memiliki semangat keilmuan.
|
1.1 QS. Al-Mujadalah :11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 (
#sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
1.1.1 Tafsir Ayat[1]
Yaa
ayyuhal la-dziina aamanuu i-dzaa qiila lakum tafassahuu fil majaalisi faf sahuu
yafsahilahuu lakum = Wahai semua orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Lapangkanlah
tempatmu dalam majelis”, hendaklah kamu melapangkannya, niscaya Allah
memberikan kelapangan kepadamu.
Wahai semua orang yang beriman
kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya, apabila dikatakan kepadamu:
“Lapangkanlah sedikit tempat duduk untuk diduduki oleh saudara-saudaramu,” maka
hendaklah kamu berbaik hati memberi ruang kepada saudara-saudaramu supaya Allah
memberikan keluasan kepadamu. Sebab, orang yang
memberi kelapangan kepada saudaranya di dalam majelisnya, maka Allah memberikan
keluasan kepadanya, bahkan memuliakannya, mengingat pembalasan itu sejenis
amalan.
Ada riwayat
yang menyebutkan bahwa ayat ini turun pada hari Jumat. Rasulullah pada hari itu
berada di shuffah (emperan masjid Nabawi) yang sempit. Beliau ketika itu sedang
menerima tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar yang turut bertempur dalam peperangan
Badar. Beberapa orang dari tokoh Badar, diantaranya Tsabit ibn Qais datang
terlambat ke tempat itu dan kebetulan telah ada beberapa orang yang mendahului
mereka. Tokoh-tokoh Badar itu berdiri di luar berhadapan dengan Rasulullah dan
memberikan salam. Kata mereka: “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi
wa barakaatuh.” Nabi menjawab salam itu, kemudian mereka memberikan salam
kepada orang-orang yang berada di tempat itu dan dijawab dengan
semestinya.tetapi mereka yang baru datang itu tidak diberi tempat duduk, maka
terpaksalah mereka berdiri. Melihat hal itu Rasulullah kecewa, maka berkatalah
dia kepada orang-orang disekitarnya: “Bangunlah, bangunlah.” Beberapa orang
yang berada di sekitar beliau berdiri dan memberikan tempat duduk kepada para
tokoh Badar, tetapi dengan perasaan tidak senang. Hal itu dijadikan oleh
orang-orang munafik sebagai celaan. Kata mereka: “Demi Allah, Muhammad tidak
adil. Ada orang-orang yang duduk di dekatnya disuruh bangun untuk memberikan
tempatnya kepada orang yang datang terlambat.” Berkenaan dengan hal itu turunlah
ayat ini.
Al-Hasan
mengatakan bahwa para sahabat Nabi berdesak-desakan di dalam medan pertempuran
dan tidak mau memberikan ruang kepada kawan-kawannya, karena mereka ingin
cepat-cepat memperoleh syahadah.
Dari ayat ini memperoleh beberapa pengertian, yaitu:
1. Para sahabat ingin mendapatkan tempat
yang dekat dengan Rasul agar mudah mendengarkan pembicaraan beliau.
2. Menyuruh kita memberikan tempat kepada
orang yang baru datang, sekiranya masih mungkin kita lakukan sebagai rasa
persahabatan di antara sesama kita.
3. orang-orang ynag member keluasan kepada
hamba-hamba Allah, niscaya Allah akan memberikan kebajikan dunia akhirat
kepadanya.
Maka diantara adab-adab Islam
adalah: tempat itu untuk siapa yang dahulu datang, tidak boleh orang itu
dibangunkan dari tempat duduknya untuk diduduki oleh orang lain. Sepatutnyalah
orang yang lebih dahulu duduk, melapangkan tempat duduknya bagi saudaranya yang
baru jika keadaan masih mengizinkan.
Para fuqaha berbeda pendapat
tentang hukum bangun berdiri karena kedatangan seseorang. Ada di antara mereka
yang membolehkan berdasar hadis Nabi: “Berdirilah karena datang orang yang
mengepalaimu.”
Yang dimaksud orang yang
mengepalainya adalah hakim dan pemuka-pemuka rakyat. Tetapi jangan pula
dijadikan adat yang tetap seperti yang berlaku dewasa ini.
Setengah ulama tidak membenarkan
kita bangun karena datang seseorang berdasarkan hadis:
مَن
أَ حَبَّ أ ن يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّ جاَ لُ قِيا ما فَليَتَبَوَّ أ مَقعَدَ هُ من
انّا ر.
“Barangsiapa suka orang lain berdiri di
sekitarnya (menyambut kedatangan dirinya sambil berdiri), maka hendaklah dia
bersiap untuk menempati neraka.”
Apabila datang ke sesuatu majelis
Nabi, hendaklah mencari tempat di mana masih koosng dan tidak mencari tempat di
muka.
Wa i-dzaa qiilan syuzuu fan syuzuu
= Apabila dikatakan “berdirilah”, maka hendaklah kamu bersdiri.
Apabila kamu diminta berdiri dari
majelis Rasul untuk member ruang kepada orang lain atau kamu disuruh pergi dari
majelis Rasul, maka hendaklah kamu berdiri. Sebab, Rasul terkadang ingin
bersendiri untuk menyelesaikan urusan-urusan agama atau menunaikan tugas-tugas
yang tidak mungkin diselesaikan dengan beramai-ramai.
Para ulama berpendapat bahwa hukum
ini bersifat umum. Mereka berkata: “Apabila pimpinan suatu majelis memrintah
orang yang berada di dalam majelis ‘Bangunlah’, maka sebaiknya permintaan itu
dipenuhi.”
Memang tidak layak bagi orang yang
baru datang membangunkan seseorang dengan tujuan agar dia bisa duduk di tempat
itu. Diriwayatkan oleh Malik, al-Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi dari Ibn Umar
bahwa Nabi bersabda:
لَا
يُقِيمُ الرَّ جُلُ الرَّ جُلَ مِن مَجلِسِهِ وَ لَكِن تَوَسَّعٌوا وَتَفَسَّحُوا
.
“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat
duduknya, tetapi hendaklah dia mengatakan: Bersegeralah sedikit.”
Ada yang mengartikan ayat ini,
apabila kamu digerakkan untuk mengerjakan sesuatu yang makruf atau sesuatu
urusan agama, maka turutilah ajakan itu dan jangan betrayal-ayal.
Yarfa’illahul la-dziina aamanuu
minkum wal la-dziina uutul ‘ilma darajaatin = Tuhan
akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi.
Allah mengangkat derajat
orang-orang yang beriman, yang mematuhi perintah, beberapa derajat di atas
orang-orang yang tiadk beriman. Selain itu, Allah mengangkat derajat
orang-orang beriman yang berilmu beberapa derajat tingginya daripada orang yang
hanya memiliki iman saja.
Walhasil, orang yang dapat
mengumpulkan iman dan ilmu, maka Allah mengangkat orang tersebut beberapa
derajat karena ilmunya.
Wallaahu bi maa ta’maluuna khabiir
= Dan Allah mengetahui semua apa yang kamu kerjakan.
Allah mengetahui semua
perbuatanmu, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Allah mengetahui siapa yang
taat dan siapa yang durhaka dan memberikan pembalasan atas amalan-amalannya.
1.1.2
Etika Dalam Majelis
Dalam mengikuti majelis (ceramah,
diskusi, rapat dll.), hendaklah kita mengikuti etika, adab atau tata tertib.
Berikut adalah etika-etika bila kita berada di dalam suatu majelis:
1.
Hendaknya
memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar
dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila
salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu
jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan
keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih
berhak daripada yang selanjutnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai
shahih oleh Al-Albani).
2.
Hendaknya duduk
di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan: Adalah
kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka
masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3.
Jangan sampai
memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi
berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma telah
meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: “Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat
duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq’alaih).
4.
Tidak duduk di
tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).
5.
Tidak duduk di
antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang memisah
di antara dua orang kecuali seizin keduanya”. (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
6.
Tidak boleh
menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu
keperluan. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang di
antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia
lebih berhak menempatinya”. (HR.Muslim)
7.
Tidak berbisik
berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu ‘anhu
menuturkan : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila
kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan
yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal
tersebut dapat membuatnya sedih”. (Muttafaq’alaih).
8.
Para anggota
majlis hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda:“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa
itu mematikan hati”. (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9.
Hendaknya
setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang
membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat”. (HR.
At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
10. Anggota majlis hendaknya tidak
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti
menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11. Tidak melakukan perbuatan memata-matai.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu
mencari-cari atau memata-matai orang”. (Muttafaq’alaih).
12. Disunnatkan menutup majlis dengan do`a
Kaffarat majlis, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: “Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu
terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca :
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
1.1.3
Hubungan Antara Iman dan Ilmu serta Manfaatnya
Akal yang cerdas dan brilian
memang sebuah anugerah. Namun ia bukan merupakan peran satu-satunya dalam
membimbing manusia untuk meraih kesejatian. Bahkan tidak sedikit orang yang
kebablasan, sehingga menuhankan akal. Dalam kaitan ini, maka iman (agama dan
akhlak) mesti terus mengawali kemampuan akal ini, sebagaimana yang diujarkan
oleh Umar bin Khaththab: Modal seorang laki-laki adalah akalnya,
kemuliaannya terletak padaagamanya, dan harga dirinya ada pada akhlaknya.´Bila
akhlak menjadi parameter dari harga diri seseorang, maka lebih-lebih terhadap ulama. Maka akhlak menjadi bagian yang inheren
dan instrinsik dengan dirinya. Dari perenungan Imam Mawardi, setidaknya ada
empat akhlak yang harus melekat dalam diri orang yang berilmu dan beriman,
yaitu:
1. Tawadhu dan tidak ujub. Karena Nabi
mengatakan: Sesungguhnya ujub itu akan memakan hasanah (kebaikan) sebagaimana
api melalap kayu bakar.´ Seorang ulama juga berujar: Barangsiapa yang
takabur dan merasa tinggi dengan ilmunya, Allah akan merendahkannya, dan
barangsiapa yang tawadhu’ (rendah hati) dengan ilmunya, Allah akan
mengangkatnya.
2. Mengamalkan ilmu. Dalam hal ini, Ali
bin Abu Thalib mengingatkan: Orang-orang tidak mau mencari ilmu tidak lain karena
mereka melihat sedikitnya orang yang berilmu mengambil manfaat dari ilmunya.
Seorang ulama juga berucap: Buah dari ilmu adalah pengamalan, sedang buah
amal ialah balasan/pahala.
3. Tidak pelit dengan ilmu. Orang yang
berilmu harus mengajarkan ilmunya kepada yang lain, karena pelit dengan ilmu
adalah tercela dan suatu kezaliman. Sebuah ujaran hikmah menyebutkan:
Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, maka ia seolah-olah bodoh tentangnya.
4. Bersifat mendidik dan lemah lembut.
Seorang yang berilmu harus selalu member nasihat dan bimbingan dengan lemah
lembut, memberikan kemudahan-kemudahan kepada muridnya dan memotivasinya untuk
giat belajar. Perbuatan ini mendatangkan pahala besar baginya.
(Makmun Nawawi).
Allah akan mengangkat derajat orang berilmu dan beriman,
berilmu dan beriman hanya dimiliki secara konsep oleh orang Islam, kenapa
secara konsep dimiliki oleh orang Islam? Karena pada dasarnya Islam menghargai
ilmu dan sekaligus memberi kepercayaan dan keunggulan kepada orang beriman yang
berilmu. Kenapa orang beriman diberi keunggulan, karena dengan ilmunya dan
imannya pengetahuan dan keahliannya akan bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Kenapa harus bermanfaaat bagi diri dan orang lain? Jawabnya adalah karena Allah
menyuruh untuk yang demikian,. Dengan ilmu dan imanlah pengetahuan dan keahlian seseorang akan berdaya guna.
Dengan ilmu dan imannya banyak orang mengambil manfaat dan sekaligus memberi
manfaat bagi kebaikan dirinya. Kenapa harus demikian kenapa orang berilmu harus
mempunyai iman? Untuk menjawab hal tersebut perlu mencermati ayat tersebut
sebelumnya (Mujaadalah:11), dalam ayat tersebut digambarkan secara jelas bahwa
hanya orang berilmu dan beriman yang akan diangkat derajatnya secara hakiki,
bukan ilusi, derajat yang diberikan Allah kepada orang berilmu dan beriman
merupakan sebuah penghargaan yang tinggi di sisi Allah. Berbeda halnya dengan
orang berilmu tanpa iman, ia akan mendapatkan manfaat sedikit dari ilmu yang
dikuasainya tanpa ada nilai tambah secara spiritual keakheratan, hal ini
terjadi diantaranya adalah karena ia melepaskan antara ilmu dengan iman,
sehingga secara konsep ia telah keluar dari Kriteria surat Mujaadalah ayat 11
tersebut.
Maka jangan heran kalau orang berilmu tanpa ada iman akan bertindak, berkata dan semua gerak geraiknya selalu
membawa bencana, baik untuk diri dan lingkungannya. Kenapa selalu membawa bencana? karena pada hakekatnya ilmu yang ia punya tidak mampu memberi
cahaya kepada diri dan orang lain. Kenapa ilmunya tidak membawa cahaya? Karena
ilmunya tanpa ada ruh iman, tanpa ada semangat iman sehingga ilmu menjadi redup
dari esensi cahaya Ilahi. Maka tidak heran jika ilmu yang dikuasainya hanya
membawa nestapa untuk diri dan orang sekelilingnya.
Nestapa diri dan orang lain akibat ilmu yang tidak ada ruh
iman lebih lama dan tak berkesudahan, hal ini sangat mungkin terjadi karena
ilmu yang ditularkan dan di berikan kepada orang laian tidak membawa esensi
cahaya Ilahi, esensi tauhid
telah mati dalam jiwa imunya, ilmunya telah menjadi sesosok mayat , yang dingin
tanpa ada kesejukan salju iman. Salju dalam ilmu hanya ada pada orang yang
berilmu dan beriman. Ilmu yang dibalut dengan iman akan membawa rasa aman bagi
diri dan orang lain. Rasa aman ini timbul akibat pancaran cahaya Tuhan yang ada
pada ilmu itu. Pancaran tersebut akan selalu bersinar dikala yang memberi ilmu
yang menerima ilmu selalu dalam koridor ketuhanan. Ketika orang berilmu selalu
dalam kamar ketentuan Tuhan maka, segala perbuatan, tingkah laku, tutur kata
dan segala aktifitasnya akan membawa sejuta angin surga, membawa salju
kesejukan bagi semua. Kenapa salju ada dalam ilmu? Karena ilmu tersebut
disertai cahaya Tuhan, esensi kebenaran dan keagungan Ilahi terpancar dan
menjadi semacam ruh ilmu
1.1.4
Perilaku Semangat Keilmuan
Ilmu merupakan hal yang paling
mulia yang diinginkan oleh orang-orang yang menginginkannya. Dan ilmu merupakan
perkara yang paling mulia yang dituntut oleh orang-orang yang hendak
menuntutnya. Dan ilmu adalah hal yang paling bermanfaat bagi orang yang hendak
mencarinya dan mengusahakan untuk mendapatkannya. Ada sebuah kisah dari sahabat
Nabi, yaitu:
Kumail bin Ziyad berkata, bahwa Ali bin Abi Thalib
radhiallahu’anhu menggandeng
tanganku kemudian mengajakku keluar ke arah dataran tinggi. Ketika kami telah
berada di tempat yang tinggi, Ali bin Thalib radhiallahu’anhu duduk kemudian
menarik nafas panjang. Ia berkata:
Wahai Kumail bin Ziyad,
sesungguhnya hati adalah wadah, dan hati yang paling baik ialah hati yang
paling sadar. Jagalah apa yang saya katakan padamu.
Manusia itu terbagi ke dalam tiga
kelompok; ulama Rabbani[2],
penuntut ilmu di atas jalan keselamatan, dan orang-orang awam (jelata) pengikut
semua penyeru[3].
Kelompok terakhir miring bersama dengan hembusan angin, tidak bersinar dengan
cahaya ilmu dan tidak bersandar pada tiang yang kokoh.
Ilmu lebih baik daripada harta.
Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta. Ilmu bertambah dengan diamalkan,
sedang harta berkurang dengan membelanjakannya.
Dan mencintai seorang ‘alim (para
ulama) adalah agama yang mana kita beragama dengannya. Ilmu membuat ulama
ditaati sepanjang hidupnya dan dikenang sepennggalnya, sedang kebaikan karena
harta itu hilang bersamaan dengan hilangnya harta.
Para penyimpan harta telah mati
padahal sebenarnya mereka hidup, sedang para ulama abadi sepanjang zaman. Diri
mereka telah sirna namun keteladanan mereka tetap melekat di dalam hati. (Sampai di sini perkataan Ali bin Abi
Thalib radhiallahu’anhu)
Berkata Imam Abul Faraj Ibnul
Jauzi[4],
"Saya memperhatikan dengan penuh takjub, sesungguhnya segala sesuatu yang
berharga itu panjang jalannya dan banyak kelelahan dalam meraihnya."
Maka sesungguhnya ilmu, tatkala ia
merupakan sesuatu yang paling berharga maka tidak akan mudah mendapatkannya
kecuali dengan perasaan lelah, sedikit tidur, selalu mengulang-ulang pelajaran,
dan meninggalkan kelezataan, dan tidak istirahat.
Oleh karena itu berkata Ibnu
Qayyim Al Jauziyah, "Adapun untuk mendapatkan kebahagiaan, maka
sesungguhnya tidak akan diwariskan kepadamu kecuali dengan mengerahkan segala
kemampuan, ada kesungguhan dalam meraihnya, dan benarnya niat."
Dari kisah tersebut dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa perilaku seseorang yang memiliki semangat keilmuan akan
selalu baik dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Orang yang berilmu akan
terus mencari ilmu dengan sungguh-sungguh karena semakin banyak ilmunya, akan
semakin senang (semangat) dan giat dalam mencari ilmu, seperti: menghabiskan
waktunya untuk membaca, menelaah, menerjemahkan, meniliti, berdiskusi, hingga
merumuskan suatu ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia akan mengamalkannya serta
mengajarkannya kepada orang yang membutuhkan ilmunya.
1.1.5
Kesimpulan Surat Al Mujaadalah: 11
Dalam ayat ini Allah memerintah
kita mengerjakan hal-hal yang membuat timbulnya rasa persahabatan, misalnya
melapangkan tempat untuk orang yang datang ke majelis, dan berpindah tempat
apabila keadaan menghendaki. Apabila yang demikian itu kita laksanakan, Allah
akan meninggikan kedudukan kita di dalam surga dan menjadikan kita di antara
orang-orang yang berbakti.
BAB
2
QS. Al-Baqarah:168 dan QS. Al-A’raf: 31
Standar Kompetensi:
2.1
Memahami Ajaran QS. Al-Baqarah: 168 tentang makanan
halal dan baik.
|
Kompetensi Dasar:
2.1.1 Membaca QS. Al-Baqarah:168 dengan
tartil.
2.1.2
Menerjemahkan QS. Al-Baqarah: 168 dengan baik dan benar.
2.1.3
Menyebutkan makanan halalan thayyiban.
2.1.4 Membedakan
makanan halal dengan yang haram sesuai dengan al-Quran.
2.1.5
Menunjukkan perilaku yang senantiasa memakan makanan halalan thayyiban.
|
Standar Kompetensi:
2.2
Memahami Ajaran QS. Al-A’raf: 31 tentang tentang
makanan dan pakaian yang tidak berlebihan.
|
Kompetensi Dasar:
2.2.1
Membaca QS. Al-A’raf: 31 dengan tartil.
2.2.2
Menerjemahkan QS. AlA’raf: 31 dngan baik dan benar.
2.2.3
Menganalisis batas-batas halal di dalam makanan,
minuman ataupun berpakaian.
2.2.4
Menyebutkan pengertian makan, minum, makan dan
berpakaian secara berlebih-lebihan.
2.2.5
Menunjukkan perilaku tidak berlebih-lebihan.
|
2.1 QS. Al-Baqarah: 168
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4
¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ .
168. Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.
2.1.1 Tafsir
Ayat
“Hai
, makanlah yang halal dan baik dari sebagian makanan yang ada di bumi”.
Makanlah sebagian makanan yang
terdapat di bumi, baik dari jenis tumbuh-tumbuhan maupun hewan, yang telah kamu
haramkan untuk dirimu, sedangkan Allah tidak mengharamkannya.
Menurut Ibn Abbas, ayat ini diturunkan
kepada segolongan bangsa Arab dari Tsaqif, Bani Amir ibn Sha’sha’ah, Bani
Khuza’ah dan Bani mudlij, yang telah mengharamkan beberapa jenis makanan untuk
dirinya, seperti baha-iir, sawa-iib, washa-iil, dan ham.
Selain yang disebutkan dalam ayat ni, semua makanan boleh
dimakan dengan syarat makanan itu baik (bersih,sehat), dan bukan hak atau milik
orang lain. Hal-hal yang diharamkan ada dua macam:
1. Yang
diharamkan karena “zat” (barang)-nya. Ini tidak dihalalkan, kecuali bagi orang
yang terpaksa memakannya. Misalnya daging babi, bangkai dan darah.
2. Yang
diharamkan karena “sebab”, yaitu harta yang diambil dari hak orang lain dengan
cara yang tidak dibenarkan oleh agama, seperti harta yang dirampas oleh
penguasa dari rakyat tanpa dasar hukum yang sah, atau diambil oleh rakyat
dengan pengaruh atau seizin penguasa, misalnya riba, sogokan (risywah,suap),
hasil perampasan, curian, dan penipuan. Kesemuanya itu merupakan harta yang
tidak baik.
“Janganlah
kamu turuti langkah-langkah setan, karena setan adalah musuhmu yang nyata.”
Janganlah kamu mengikuti jalan setan dalam tipu dayanya, dan
dalam meragukan hati manusia, serta menyuruh berbuat jahat
(maksiat) dan keji.
Setan adalah musuh yang nyata
bagimu, karena dia merupakan tempat terbitnya lintasan-lintasan yang buruk. Dia
pula yang mendorong kamu untuk mengerjakan kejahatan (kemaksiatan) dan
perbuatan dosa.
Tuhan mencegah kita mengikuti
bisikan-bisikan tentang kebathilan dan kejahatan (kemaksiatan), karena hal
demikian merupakan tipu daya setan. Maka, apabila dalam hati seseorang timbul
suatu penggerak untuk menolong fakir dan ingin melaksanakannya, tetapi segera
terlintas bisikan tentang perlunya penghematan dan menabung, maka hendaklah
diketahui, bahwa pikiran selintas itu adalah bisikan setan. Janganlah kamu
terkecoh oleh lintasan setan, yang menghalangi kamu untuk berbuat kebajikan.
2.1.2 Makanan
Yang
Baik
dan Halal
Sesuai
dengan al-Qur’an
“Yang
halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya
ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal
haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa hati-hati
dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (HR
Muslim)
Mengkonsumsi suatu makanan, selama
tidak ada dalil yang akurat (shahih) baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits yang
menggolongkannya termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah swt, maka
sebaiknya kita kembali kepada hukum asal, yakni halal atau mubah.
Makanan yang halal berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits, dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam, antara lain:
1. Tidak termasuk Najis dan Bangkai.
Allah SWT telah mengharamkan darah
yang mengalir, babi, dan bangkai (kecuali ikan dan belalang) untuk dimakan oleh
manusia, karena hal itu termasuk najis. Dalam hal ini seluruh bentuk najis
menjadi haram hukumnya untuk dimakan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah
SWT dalam Al Qur’an
dalam surat al-An’am: 145.
“Sesuatu bagian
yang dipotong dari binatang itu masih hidup statusnya sama seperti bangkai, hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang dipotong dari binatang selagi
ia masih hidup adalah bangkai” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hewan
yang telah dibunuh oleh hewan buas termasuk jenis bangkai, kecuali hewan
tersebut telah dilatih dan pada saat melepaskannya untuk menangkap buruan kita
menyebutkan nama Allah SWT, maka hukumnya adalah halal untuk hewan hasil
tangkapannya.
Ada
dua jenis bangkai dan darah yang dihalalkan untuk dimakan, yaitu yang termasuk
dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan yang termasuk dua darah adalah hati
dan limpa. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah;
Dalam
sebuah hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: ”Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai
yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.”
(HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
2. Tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi
fisik.
Yang termasuk makanan ataupun
minuman yang memiliki efek bahaya bagi fisik manusia adalah racun. Dan golongan
minuman yang memabukkan, menghilangkan pikiran sehat, atau melalaikan adalah
termasuk jenis ini. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an dalam surat al-Baqarah: 195.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang
membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu
Majah dan Ahmad)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang mereguk racun lalu
membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya
ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (HR. Bukhari)
3. Tidak termasuk jenis hewan buas.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR.
Muslim).
Dari hadits di atas, secara tegas
dijelaskan bahwa hewan buas yang bertaring adalah haram dimakan. Yang termasuk
hewan buas golongan ini seperti harimau, singa, buaya, serigala, kucing,
anjing, kera, ular, dan setiap hewan buas pemangsa. Hewan tersebut di atas juga
merupakan hewan yang berkuku tajam, termasuk dari jenis burung (berkuku tajam),
yang menggunakan cakarnya dalam memakan mangsa, adalah hewan yang tidak halal
untuk dimakan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
4. Hewan yang berasal dari laut.
Hewan-hewan buruan yang berasal
dari laut dan semua makanan dari laut adalah halal untuk dimakan, yakni dari
berbagai spesies ikan laut ataupun makhluk hidup air. Karena laut itu
sesungguhnya suci airnya dan halal bangkainya. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT dalam Al Qur’an
dalam surat al-Maidah: 96.
Dan hadits Rasulullah SAW, ketika
ditanya tentang air laut, “Ia(laut) suci
airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abudawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
5. Hewan halal yang mati karena
disembelih.
Hewan-hewan halal yang halal
dimakan jika penyebab kematian hewan tersebut adalah karena disembelih,
sehingga jika penyebab kematian hewan tersebut bukan dikarenakan disembelih
maka, hewan tersebut termasuk dalam golongan bangkai dan hukumnya tidak halal
untuk dimakan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al Qur’an dalam surat al-Maidah: 3.
6. Hewan halal yang disembelih atas nama
Allah.
Hewan yang dasar hukumnya atau
hakikatnya halal menjadi sah kehalalan jika hewan tersebut disembelih dengan
menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al Qur’an
dalam surat al-An’am: 118-119.
Allah juga mengharamkan
hewan-hewan yang disembelih tanpa menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya
atau dengan nama selain Allah seperti sesembahan, sesajen ataupun tumbal. Hal
ini sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dalam suratal-An’am: 121.
Keadaan Darurat
dan Pengecualiannya
Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas,
adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri,
yaitu Halal. Seperti yang
disebutkan dalam firman Allah QS. Al-A’am: 119.
Dan di ayat lain, setelah Allah
menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dalam surat al-Baqarah: 173.
Darurat yang sudah disepakati oleh
semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh
kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan
sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang
diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan
darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
2.1.4 Perbedaan Makanan Halal dan Haram Sesuai dengan al-Qur’an
A. Pengertian
Makanan Halal
Makanan yang halal adalah segala
sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk dikonsumsi kecuali ada
larangan dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Agama Islam
menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik.
Makanan halal maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai
Allah. Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi tubuh,
atau makanan bergizi. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah: 168.
Makanan yang enak dan lezat belum
tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan tersebut berbahaya bagi
kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa mengganggu kesehatan
rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan dibakar di hari
kiamat dengan api neraka.
B. Jenis
Makanan Halal
Makanan dikatakan halal paling
tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara
memperolenya, dan halal cara pengolahannya.
1. Halal zatnya
Makanan yang halal menurut zatnya
adalah makanan yang dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di
tetapkan kehalalannya dalam kitab suci al-qur’an dan al-hadist. Centoh makanan
yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam, kambing, buah-buahan seperti
apel, kurma, anggur, dan lain sebagainya.
2. Halal cara
memperolehnya
Yaitu makanan yang di peroleh
dengan cara yang baik dan sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara
memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan
dilarang oleh syariat. Contoh dari cara memperoleh yang baik adalah dengan cara
membeli, bertani, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun dari makanan yang
diperoleh dari makanan yang batil adalah dengan cara mencuri, merampok,
menyamun, dan lain sebagainya.
3. Halal cara
pengolahannya
Yaitu makanan yang semula halal
dan akan menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak sesuai dengan syeriat
agama. Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang
tidak benar menyebabkan makanan itu mmenjadi haram. Contohnya anggur, makanan
ini halal tetapi karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman ini
menjadi haram. Dalam firman Allah surat Al-A’raf: 157 juga dijelaskan.
C. Pengertian
Makanan Haram
Makanan yang haram adalah segala
sesuatu yang dilarang oleh syariat untuk dikonsumsi, dan apabila tetap
dikonsumsi akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan terpaksa, serta banyak
sekali madhratnya dari pada hikmanya, sebagai contoh mengkonsumsi darah yang
mengalir ini di haramkan karena itu kotor dan dihindari oleh manusia yang
sehat, disampaing itu ada dugaan bahwa darah tersebut dapat menimbulkan bahaya
sebagaimana halnya bangkai.
D. Jenis Makanan Haram
Makanan yang haram dalam Islam
ada dua jenis, yaitu:
1. Ada yang diharamkan karena
dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti:
bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan lainnya.
2. Ada yang diharamkan karena suatu
sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya
adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak
berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri,
upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara
yang bid’ah, dan lain sebagainya.
Diharamkan mengkonsumsi semua
makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri, apalagi kalau sampai membunuh
diri-baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun,
narkoba dengan semua jenis dan macamnya, dan sejenisnya
1. Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang
mati tanpa penyembelihan yang syar’i dan juga bukan hasil perburuan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah: 3.
Jenis-jenis bangkai berdasarkan
ayat-ayat di atas,
a. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
b. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan
keras.
c. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat
yang tinggi.
d. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan
lainnya.
e. Hewan yang mati karena dimangsa
oleh binatang buas.
f. Semua hewan yang mati tanpa
penyembelihan, misalnya disetrum.
g. Semua hewan yang disembelih
dengan sengaja tidak membaca basmalah.
h. Semua hewan yang disembelih untuk
selain Allah.
i.
Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/ terpisah dari tubuhnya.
Diperkecualikan darinya 3 bangkai,
ketiga bangkai ini halal dimakan:
1) Ikan, karena dia
termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah
halal bangkainya kecuali kodok.
2) Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar
secara marfu:
” Dihalalkan untuk kita
dua bangkai dan dua darah.Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan
belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa “. (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah)
3) Janin yang berada dalam perut
hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi SAW bersabda, “Penyembelihan
untuk janin adalah penyembelihan induknya.” Maksudnya jika hewan yang
disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan
tanpa harus disembelih ulang.
2. Darah
Yakni darah yang mengalir dan
terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am: 145.
Dikecualikan darinya hati dan
limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga
dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.
3. Daging babi
Telah berlalu dalilnya dalam
surah Al-Ma `idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi
adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
4. Khamar
Allah-Subhanahu wa Ta’ala-berfirman
dalam QS. Al-Maidah: 90.
Dan dalam hadits riwayat Muslim
dari Ibnu Umar ra. : “Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar
adalah haram.” Dikiaskan dengan semua makanan dan minuman yang bisa
menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan
macamnya.
5. Semua hewan buas yang bertaring
Dan dalam riwayat Muslim, “Semua
hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram.” Jumhur ulama
berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang
semakna dengannya.
6. Semua burung yang memiliki cakar
Yaitu semua burung yang memiliki
cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan
rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat (kecuali Imam Malik) dan
selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra :
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
“Beliau (Nabi) melarang untuk
memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar.” (HR.
Muslim)
7. Jallalah.
Yaitu hewan pemakan feses
(kotoran) manusia atau hewan lain , baik berupa onta, sapi, dan kambing,
maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses),
ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak.
Hukumnya adalah haram. Ini
merupakan pendapat Imam Ahmad-dalam satu riwayat-dan salah satu dari dua
pendapat dalam madzhab Syafi’iyah. mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar
r.a beliau berkata:
“Rasulullah SAW melarang dari
memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali
An-Nasa`iy)
Beberapa masalah yang berkaitan
dengan jallalah:
a. Tidak semua hewan yang memakan feses
masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang
diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan
jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses,
karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan.
b. Jika jallalah ini
dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka
tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat
mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada
ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar.
8. Kuda
Telah berlalu dalam hadits Jabir
bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya
ucapan Asma `bintu Abu Bakar ra, “Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah
SAW lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah
taqririyyah (persetujuan) dari Nabi SAW.
Ini adalah pendapat jumhur ulama
dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab
Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari
kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy
sebagaimana dalam Fathul Bary dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah.
9. Baghol
Dia adalah hewan hasil peranakan
antara kuda dan keledai. Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil
peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan.
10. Anjing
Para ulama sepakat akan haramnya
memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing
termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu
pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya
Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya.“
Dan telah Tsabit dalam hadits Abu
Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir
riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.
11. Kucing baik yang jinak maupun
yang liar
Jumhur ulama menyatakan haramnya
memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan
taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan
juga telah Warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan
meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.
2.1.3
Perilaku yang Menunjukkan Senantiasa Memakan Makanan Halalan Thayyiban
1. Tidak berlebihan (isyraf) dalam
mengkonsumsi dan tidak memubazirkannya. Berlebihan merupakan budaya yang tidak
disukai Allah. Sebagaimana yang disinggung dalam Alquran surat al-An’am: 141. Dan
Mubazir adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam islam, bahkan diidentikkan
sebagai saudara setan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra’: 26-27.
Kalau kita dilarang berlebihan, maka
seharusnya pula kita makan dan minum menurut kadar cukup. Rasulullah
mengisyaratkan dalam sebuah sabdanya: ‘’ Tidak ada suatu tempat yang
dipenuhi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak
Adam itu beberapa suap makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya.
Tetapi bila ia terpaksa melakukannya, maka hendaklah sepertiga ( dari perutnya
itu) diisi dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya lagi
dengan nafasnya (udara, dikosongkan)” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi).
Batasan yang diajarkan oleh Rasul ini menekankan
pentingnya seorang muslim agar memperhatikan orang di sekitarnya, artinya kita
harus memahami realitas sosial yang ada di lingkungan kita, agar tidak terjadi
kecemburuan sosial. Dalam sebuah sabda lain Rasul mengancam kepada seorang yang
hanya mementingkan dirinya sendiri dalam masalah makanan sebagai orang yang
bukan golongannya, yaitu: “barangsiapa makan sampai kenyang, sementara
tetangganya merintih kelaparan, maka ia bukan termasuk golonganku”.
2. Memulainya dengan membaca “basmalah”
serta doa. Hal ini merupakan manifestasi ibadah dalam bentuk yang paling
minimal. Sebab bila tidak menyebut nama Allah, setan niscaya akan turut makan
bersamanya, dan dengan demikian hilanglah nilai ibadahnya. Lantas apa bedanya
dengan orang kafir? Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan:
Dan dari Jabir berkata: saya telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang masuk dalam rumahnya dengan
mengucapkan “bismillah” ketika masuk dan ketika hendak makan, maka setan
berkata kepada temannya: ‘tiada tempat tinggal dan tiada bagian makanan bagimu
disini’. Sedangkan bila orang itu masuk tanpa menyebut nama Allah, maka setan
akan berkata:’Kamu dapat bermalamdi rumah ini’. Kemudian jika waktu makan tidak
menyebut nama Allah, setanpun berkata: ‘kamu dapat bermalam dan makan disini’.” (HR.Muslim).
Jika lupa di awal makan, maka ucapkanlah segera
saat teringat. Rasulullah SAW telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan
dari Aisyah r.a, sebagai berikut: “Bila salah seorang diantara kamu hendak
makan maka ucapkanlah “bismillah”, namun bila ia lupa di awalnya, maka
ucapkanlah ‘bismillahi awwaluhu wa akhiruhu’(dengan nama Allah dari mula hingga
akhir). (HR. Turmidzi)
3. Tidak boleh mencela makanan. Apa
pun yang dihidangkan di depan mata kita, makanan merupakan rezeki dari Allah.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: ”Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan
selamanya. Jika beliau suka dimakannya, dan jika tidak suka ditinggalkannya”.(HR
Bukhari dan Muslim)
4. Menggunakan tangan kanan, tidak
dengan tangan kiri. Karena, makan dan minum dengan tangan kiri merupakan cermin
dari perbuatan setan yang harus dihindari oleh setiap mukmin yang memiliki
komitmen kepada Ilahi, hal ini seiring dengan maksud sebuah hadis: “Apabila
seseorang dari kamu makan, maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan
apabila ia minum, maka minumlah dengan tangan kanan. Karena sesungguhnya setan
makan dengan tangan kirinya’. (HR. Imam Muslim)
Allah SWT
menghubungkan dengan perilaku makan dengan larangan mengikuti setan secara
tegas dalam Al Qur’an surat al-Baqarah: 168. Pengertian langkah langkah setan
yang dimaksud ayat ini antara lain adalah mengkonsumsi makanan yang tidak halal
dan dengan menggunakan tangan kiri.
5. Sambil duduk, dan tidak berdiri.
Hal ini seiring dengan hadis Nabi: Dari Qatadah, dari Anas dari Rasulullah
SAW, bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah melarang orang minum sambil berdiri”.
Lalu Qatadah bertanya kepada Anas: Kalau makan bagaimana? Ia pun menjawab: “Hal
itu (makan dengan cara berdiri) lebih busuk dan jahat”. (HR. Ahmad, Muslim
dan Turmidzi)
6. Jika makan bersama sama, ambillah
dari yang dekat dekat saja, sejauh yang dapat di jangkau oleh tangan.
Sebagaimana sabda Rasulullah berikut: Dari Umar bin Abi Salamah berkata,
ketika saya masih kecil di bawah asuhan Rasulullah SAW, aku bisa menjulurkan
tanganku ke tempat makanan, maka Rasulullah SAW bersabda: “Wahai ananda,
ucapkanlah ‘bismillah’, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari
apa yang dekat kepadamu”. (HR.Muslim)
7. Tenang, perlahan dan tidak
terburu buru. Jangan bersikap rakus sehingga tampak mulut penuh dengan suapan,
dan jangan meniup-niup makanan atau minuman yang menunjukkan sikap tidak sabar.
Dari Ibnu Abas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian minum
dengan sekali tegukan seperti minumnya unta, tetapi minumlah dengan dua atau
tiga kali tegukan. Ucapkanlah ‘bismillah’ jika kalian minum dan ‘alhamdulillah’
jika kalian selesai minum”. (HR. Turmidzi).
8. Mengambil secukupnya sehingga
dapat di konsumsi habis, jangan tersisa sedikit pun, walau hanya berupa sebutir
nasi yang menempel di jari tangan umpamanya, karena hal itu menjadi bentuk
pemubaziran yang dilarang. Dari Jabir katanya, Rasulullah SAW menyuruh
membersihkan sisa makanan yang di piring maupun yang di jari seraya bersabda:
“Sesungguhnya kalian tiada mengetahui di bagian manakah makananmu yang
mengandung berkah”.(HR. Muslim)
9. Haram menggunakan perabotan dari
emas dan perak. Rasul pernah melarangnya dengan sabdanya: “Dari Hudzaifah,
ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami minum dan makan dengan
perkakas dari emas dan perak. Beliau juga melarang kami (kaum lelaki)
berpakaian sutera dan yang dibordir dengan benang sutera dengan sabdanya: “Itu
adalah untuk kaum musyrikin didunia dan untuk kalian (nanti, insya Allah) di
akhirat”. (HR. Bukhari dan Muslim)
10. Mengakhiri makan dan minum dengan
berdoa sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas rezeki yang telah
dikaruniakan, sehingga badan menjadi sehat, dan dapat melakukan ibadah ibadah lainnya
yang telah Allah amanahkan.
Demikian
beberapa panduan , tata cara dan budaya makan dan minum yang dicontohkan dan diajarkan
oleh nabi Muhammad SAW.
2.2 QS. Al-A’raf: 31
* ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4
¼çm¯RÎ) w
=Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
[534] Maksudnya:
tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau
ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya:
janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui
batas-batas makanan yang dihalalkan.
2.2.1 Tafsir Ayat
Maksudnya: ialah memakai
pakaian yang dapat menutup aurotnya. Lebih sopan lagi kalau pakaian itu selain
bersih dan baik , juga indah yang dapat menambah keindahan seseorang dalam
beribadah menyembah Allah, seperti orang yang berdandan dengan memakai pakaian
yang indah dikala akan pergi ketempat – tempat undangan dan lain-lain, maka
untuk pergi ke tempat- tempat beribadat untuk menyembah Allah tentu lebih
pantas lagi, bahkan lebih utama memakai pakaian yang indah dan baik, terutama
di waktu berkumpul bersama orang banyak di waktu shalat Jum’at, shalat Id. Juga
disunat kan memakai wangi-wangian dan pakaian yang terbaik. Dan juga. tiap-tiap
akan mengerjakan thawaf keliling ka’bah atau ibadat-ibadat yang lain.
Kemudian dalam ayat ini juga Allah SWT mengatur pula perkara makan dan minum
manusia agar tidak berlebih- lebihan hingga pada sampai yang haram. Makanan dan
minuman manusia itu harus disempurnakan dan diatur untuk dapat memelihara
kesehatannya. Dengan makan dan minum yang dapat memelihara kesehatan maka
manusia lebih kuat melakukan ibadat.
Ketika kamu akan bersembahyang,
pakailah yang baik dan indah. Sungguh, kita wajib berhias menurut uruf (adat)
masing-masing ketika mendatangi tempat bersembahyang (masjid). Dengan
mengenakan pakaian yang baik ketika kita menyembah Tuhan bersama dengan
orang-orang mukmin yang lain akan berada
dalam kondisi yang baik.
Diriwayatkan oleh
ath-Thabrani dan al-Baihaqi dari ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
“Apabila kamu sembahyang,
hendaklah memakai dua helai kain. Sebab, sesungguhnya kita lebih patut berhias
untuk Allah. Jika tidak ada dua helai pakaian (baju dan sarung), hendaklah kamu
bersarung apabila bersembahyang. Dan janganlah di antara kamu apabila
bersembahyang memakai pakaian seperti yang di pakai oleh yahudi.”
Pakailah baju yang bagus
ketika mengunjungi masjid dan menunaikan ibadat. Kemudian makan minumlah yang
baik-baik, dan jangan berlaku boros, tetapi senantiasa seimbang. Allah yang
menjadikan semua nikmat, tetapi tidak menyukai perilaku boros atau
berlebih-lebihan dalam sesuatu tindakan.
Israf (berlebih-lebihan) yang tidak diperbolehkan
itu termasuk berlebih-lebihan dalam berbelanja, berlebih-lebihan dalam berlaku
kikir (sangat kikir), dan berlebih-lebihan dalam pemakaian bebda halal sehingga
menjadi haram. Baik dalam makanan ataupun minuman, karena Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan itu.
Nabi saw. bersabda:
“Makanlah kamu,
minumlah kamu, bersedekahlah kamu, dan berpakaianlah kamu dengan cara yang
tidak menunjukkah kesombongan dan ujub (keangkuhan) serta tidak boros. Sebab
Allah menyukai supaya dia melihat pengaruh nikmat yang diberikan kepada
hambanya”.[5]
2.2.2 Batas-batas Halal di dalam Makanan, Minuman ataupun Berpakaian
A. Makanan yang Halal
Makanan yang halal
ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam.
segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya
adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang
menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena
memberi mengandung mudharat atau bahaya bagi kehidupan manusia. Allah berfirman dalam surat
al-Baqarah: 168.
Dari ayat di atas
maka jelaslah bahwa makanan yang dimakan oleh seorang Muslim hendaknya memenuhi
2 syarat, yaitu:
1.
Halal, artinya
diperbolehkan untk dimakan dan tidak dilarang oleh hukum syara’
2. Baik, artinya makanan itu bergizi dan bermanfaat untuk
kesehatan.
Dengan demikian “halal” itu ditinjau dari Islam sedangkan
“baik” ditinjau dari ilmu kesehatan.
Ketentuan-ketentuan makanan yang halal dan yang haram telah
dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabdanya, yang artinya:
Rasulullah SAW ditanya
tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan
atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda: Apa yang dihalalkan oleh Allah
dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya
adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu
termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Selanjutnya,
Allah Swt berfirman dalam surat
al-A’raf: 157. Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat
disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah:
1.
Semua makanan yang baik, tidak kotor dan
tidak menjijikan.
2. Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Semua makanan
yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak
merusak akal, moral, dan aqidah.
B. Minuman Yang Halal
Minuman yang halal ialah minuman yang boleh diminum menurut
syari’at Islam. Adapun minuman yang halal pada haris besarnya dapat dibagi
menjadi 4 bagian, yaitu:
1.
Semua jenis air atau cairan
yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia baik membahayakan dari segi
jasmani, akal, jiwa maupun aqidah.
2. Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya telah
memabukkan seperti arak yang telah berubah menjadi cuka.
3. Air atau ciran itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang
terkena najis (mutanajis).
4. Air atau cairan yang suci itu didaatkan dengan cara-cara yang
halal yang tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
C. Batas
Berpakaian
Walaupun Islam memberikan kelonggaran dan keleluasaan dalam
hal berpakaian, baik dari sisi warna, bahan, maupun jenis dan bentuknya, Islam
menetapkan rambu-rambu dan aturan-aturan yang harus diperhatikan dan yang tidak
boleh dilanggar. Rambu-rambu tersebut menjadi pembeda antara pakaian syar’i yang
menandakan ketakwaan dan keteguhan agama seseorang, dan pakaian nonsyar’i yang
melambangkan kecenderungan dan karakter masing-masing orang. Rambu-rambu
tersebut ada yang sifatnya anjuran wajib atau sunnah, ada pula yang bersifat
larangan haram atau makruh.
1.2.3
Perilaku Tidak
Berlebih-lebihan
Berikut ini ada beberapa rambu umum yang patut diperhatikan dan juga mencermnkan periaku yang tidak
berlebih-lebihan dalam berpakaian, yaitu:
1. Tidak berlebih-lebihan
dalam berpakaian di luar batas kebiasaan.
Allah Subhanahu
wata’ala berfirman dalam surat
al-A’raf: 31.
Berlebih-lebihan
(al-israf) ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.
Melebihi batas kebiasaan dan kadar cukup (kewajaran),
b.
Bermewah-mewah di luar batas kewajiban,
c.
Melampaui batas halal menuju zona keharaman. (Tafsir as-Sa’di)
Dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Makanlah,
minumlah, dan berpakaianlah, selama tidak tercampur dengan sikap israf dan
kesombongan.” (Hasan, HR. an-Nasa’i no. 2559 dan Ibnu Majah no.
3605)
Yang dianjurkan adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) dalam
hal berpakaian karena Allah Subhanahu wata’ala semata, bukan karena
ingin disebut sebagai orang zuhud. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam memuji dengan sabdanya,
“Barang siapa meninggalkan pakaian (kemewahan) karena
tawadhu untuk Busana Takwa Syar’i atau Trendi? Allah Subhanahu wata’ala
semata padahal dia mampu, maka Allah Subhanahu wata’ala akan
memanggilnya di hari kiamat nanti di hadapan seluruh makhluk untuk bebas
memilih perhiasan (pakaian) surga yang diberikan kepada Ahlul Iman yang
diinginkan untuk dia pakai.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi [no. 2481] dari
Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu)
Tidak berarti Islam melarang berpakaian indah dan bagus,
namun yang terpenting adalah tidak ada unsur kesombongan. Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah(2819)
meriwayatkan, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wata’ala menyukai ditampakkannya kebaikan nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” (Shahih
lighairihi, HR. at-Tirmidzi no. 2819, Ahmad 3/372, dari Abul
Ahwash, dari ayahnya, dan dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu,
al- Hakim, serta Ibnu Majah)
2. Kewajiban menutup aurat
dalam berpakaian adalah tujuan utama syariat berpakaian. Para ulama juga
bersepakat tentang kewajibannya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman dalam surat al-A’raf: 26.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ
الْمَرْأَةِ
“Seseorang
lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula wanita tidak boleh
melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim [no. 338] dari Abu Sa’id
radhiyallahu ‘anhu)
3. Tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang buas seperti singa,
harimau, dan yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
وَلاَ
تَرْكَبُوْا الْخِزَّ وَلاَ النِّمَارَ
“Janganlah kalian beralas sutra, jangan pula kulit
harimau.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 4125 dan Ibnu Majah no.
3656 dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (11/147 cet.
Darul Fikr tahun 2003M/1423H) disebutkan bahwa RasulullahShallallahu
‘alaihi wasallam melarang menggunakan dan memanfaatkan kulit
macan karena ada unsur kesombongan dan kemewahan dalam berhias.
Selain itu, pakaian dari kulit macan adalah mode orang ajam (kita
dilarang menyerupai orang ajam, yakni Persia dan Romawi, -pen.)
Larangan di atas umum mencakup hewan buas yang
disembelih atau belum. Meskipun sangat mungkin, mayoritas penggunaannya
ialah saat hewan tersebut telah mati karena menangkapnya dalam keadaan
hidup tergolong sulit.
4. Kaum lelaki diharamkan
menggunakan pakaian yang terbuat dari sutra.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ
تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ فَإِنَّهُ مَنْ لَبِسَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ
فِي الآخِرَةِ
“Janganlah kalian menggunakan pakaian sutra, sebab barang
siapa menggunakannya di dunia, dia tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR.
al-Bukhari no. 5834 dan Muslim no. 2069/11)
Al-Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi menjelaskan, pada bab ini (hadits-hadits yang mengharamkan sutra
dan emas atas pria, -pen.) diriwayatkan dari Umar, Ali, Uqbah bin Amir, Anas,
Hudzaifah, Ummu Hani, Abdullah bin ‘Amr, Imran bin Hushain, Abdullah bin
Zubair, Jabir Abu Raihan, Ibnu Umar, dan Watsilah bin al-Asqa’ . (Tuhfatul
Ahwadzi 5/315—316, cet. Darul Fikr tahun 2003M/1424H) Ada beberapa hal yang
dikecualikan dari larangan, di antaranya:
a. Seseorang mengidap
penyakit kulit, kusta, dan semisalnya yang bisa menjadi lebih ringan dengan
menggunakan pakaian sutra. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
رَخَّصَ
النَّبِيُّ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ
لِحِكَّةٍ بِهِمَا
“Nabi memberi rukhsah kepada Zubair dan Abdurrahman
memakai sutra karena penyakit hikkah yang menimpa mereka.” (HR.
al-Bukhari no. 5839] dan Muslim no. 2076/25)
Hikkah adalah penyakit kulit sejenis kusta, demikian
disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim dan Fathul Bari.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/376), “Penyebutan hikkah
hanyalah contoh, bukan pembatasan.” Al – Imam ath – Thabari rahimahullah
berkesimpulan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa larangan memakai
sutra tidak berlaku atas orang yang mengidap penyakit yang bisa diringankan
dengan memakai sutra.” (al-Fath, 11/377)
Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, keringanan ini
khusus ketika safar (berpergian) saja, karena riwayat Muslim yang lain (no.
2076/24) ada lafadz فِي السَّفَرِ “saat safar.” Namun, yang rajih (kuat)
adalah pendapat jumhur (mayoritas) bahwa rukhshah (keringanan) tersebut
berlaku umum, baik saat mukim maupun safar, karena riwayat di atas sifatnya
kondisional. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga melemahkan
pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i di atas. (Lihat Syarh Shahih Muslim 14/46,
cet. I, Darul Kutub Ilmiah, 1995M/1415H)
b. Diperbolehkan memakai
sutra untuk membangkitkan emosi (baca: “Diharamkan pakaian sutra dan
perhiasan emas bagi lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.”
provokasi) musuh dalam front jihad fi sabilillah. Sebab, pada
sebagian lafadz riwayat di atas terdapat kalimat فِي غَزَاةٍ لَهُمَا “dalam
perperangan mereka berdua.” (HR. Muslim no. 2076/26, at-Tirmidzi no.
1722)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyatakan
setelah meriwayatkan hadits di atas,
فَرَأَيْتُهُ
عَلَيْهِمَا فِي غَزَاةٍ
“Saya melihat sutra tersebut mereka pakai dalam sebuah
pertempuran.” (HR. al-Bukhari no. 2919) Al-Imam Muhammad bin
Ismail al- Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul:
الْحَرِيْرُ لِلْحَرْبِ “Sutra untuk Peperangan.” Al-Imam Muhammad
bin ‘Isa at- Tirmidzi rahimahullah juga membuat bab,
مَا جَاءَ
فِي الرُّخْصَةِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ فِي الْحَرْبِ
“Rukhshah
Memakai Sutra dalam Peperangan.”
c. Diperbolehkan memakai
sutra dalam keadaan darurat. Al-Imam Yahya bin Syaraf an- Nawawi
rahimahullah ber-istinbath, “Hadits di atas mengandung
dalil diperbolehkannya memakai sutra ketika kondisi darurat, seperti
seseorang yang dikejutkan dengan pertempuran dan tidak ada pakaian lain
selain sutra.” (Syarah Shahih Muslim 14/45)
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani rahimahullah
menambahkan, “Dimasukkan pula dalam (hukum rukhshah), pakaian
sutra yang digunakan untuk melindungi tubuh dari panas atau cuaca
dingin, apabila tidak dijumpai yang selainnya.” (Fathul Bari 11/377,
cet. Darul Fikr, 1996M/1416H)
d. Diperbolehkan
menggunakan sutra untuk hiasan pakaian dan semisalnya dengan syarat tidak lebih
dari empat jari. Dalam Shahih Muslim (no. 2069/15)
dan at-Tirmidzi (no. 1721), dari Suwaid bin Ghaflah rahimahullah,
beliau berkata bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
pernah berkhutbah di Jabiyah,
نَهَى
نَبِيُّ اللهِ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ إِلاَّ مَوْضِعَ إِصْبَعَيْنِ
أَوْ ثَلاَثٍ أَوْ أَرْبَعٍ
“Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
memakai sutra kecuali seukuran dua, tiga, atau empat jari.” Al-Hafizh t
dalam al-Fath 11/467 menyatakan, “ أو (atau) di sini untuk
keragaman dan pilihan.” Al-Imam Yahya an-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Di dalam riwayat ini, ada kebolehan hiasan sutra pada pakaian apabila
tidak lebih dari empat jari. Ini adalah mazhab kami (ulama mazhab Syafi’i,
-pen.) dan mazhab jumhur (mayoritas ulama). Diriwayatkan dari Malik rahimahullah
bahwa beliau melarangnya. Diriwayatkan pula dari sebagian pengikutnya
(ulama mazhab Maliki, -pen.) pendapat yang membolehkan hiasan
sutra tanpa batasan empat jari, bahkan mereka berkata, ‘Boleh sebesar
apa pun’.” Kedua pendapat tersebut terbantah dengan hadits
yang tegas ini. Wallahu a’lam. (Syarah Muslim 14/43)
5. Tidak diperbolehkan
memakai pakaian yang bergambar salib dengan beragam modelnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
أَنَّ
النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ
تَصَالِيبُ إِلاَّ نَقَضَهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
membiarkan sesuatu pun di rumahnya yang berbentuk salib melainkan beliau
musnahkan.” ( HR. al-Bukhari no. 5952)
6. Tidak diperbolehkan
memakai pakaian yang bertuliskan huruf-huruf yang tidak dimengerti maknanya
atau ada unsur pengagungan terhadap orang kafir, atau kata-kata yang melanggar
syar’i atau etika. Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya, “Apa hukum pakaian yang mengandung tulisan yang berbahasa Inggris, sedangkan kita
tidak tahu, bisa jadi tulisan tersebut mengandung makna yang jelek,
apakah hal ini termasuk tasyabuh?”
Beliau menjawab, “Kewajiban kita adalah bertanya
tentang tulisan atau huruf/simbol yang ditulis dengan selain
bahasa Arab tersebut, bisa jadi mengandung makna yang merusak dan menghancurkan
moral.” Tidak diperbolehkan memakai sesuatu yang ada tulisan
berbahasa Inggris atau lainnya yang bukan bahasa Arab kecuali
setelah orang itu memastikan kebersihan (makna) tulisan tersebut. Tulisan
itu tidak mengandung sesuatu yang mengotori kemuliaan, tidak pula berisi
pengagungan terhadap orang kafir. Bisa jadi, tulisan tersebut mengandung
unsur pengagungan terhadap orang kafir baik itu olahragawan, artis,
penemu, maupun yang semisal itu. Apabila tulisan tersebut
mengandung pengagungan terhadap orang kafir, maka hukumnya haram,
tidak boleh. Begitu pula tulisan yang mengandung makna murahan
dan merusak, juga tidak diperbolehkan. Oleh sebab itu, dia harus
memastikan makna tulisan tersebut sebelum pakaian tersebut dia
kenakan.” (Lihat al-Fatawa fii Ziinati binti Hawa, hlm. 78, karya Ummu
Salamah as-Salafiyah al-‘Abbasiyah hafizhahallah)
7. Tidak diperbolehkan
memakai pakaian yang bergambar makhluk bernyawa, baik itu gambar manusia,
hewan, maupun burung. Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 5949)
dan Shahih Muslim (no. 3933) dari Abu Thalhah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
لاَ
تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلاَ تَصَاوِيرُ
“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada
anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain,
dia berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku, ‘Maukah aku
utus engkau dengan sesuatu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutus aku dengannya?’
أَنْ لاَ
تَدَعْ صُوْرَةً تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ
سَوَّيْتَهُ
‘Janganlah engkau biarkan ada gambar melainkan engkau
musnahkan, atau kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan’.” (Shahih
Muslim no. 969)
Perilaku tidak
berlebih-lebihan dalam makanan dan minuman, yaitu tidak berlebihan (isyraf)
dalam mengkonsumsi dan tidak memubazirkannya. Berlebihan merupakan budaya yang
tidak disukai Allah. Sebagaimana yang disinggung dalam Alquran surat al-An’am:
141.
Dan Mubazir adalah perbuatan yang
sangat dilarang dalam islam, bahkan diidentikkan sebagai saudara setan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra’: 26-27.
Kalau kita dilarang berlebihan, maka seharusnya
pula kita makan dan minum menurut kadar cukup. Rasulullah mengisyaratkan dalam
sebuah sabdanya: ‘’ Tidak ada suatu tempat yang dipenuhi oleh anak Adam yang
lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap
makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya. Tetapi bila ia terpaksa
melakukannya, maka hendaklah sepertiga ( dari perutnya itu) diisi dengan
makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya lagi dengan nafasnya
(udara, dikosongkan)” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi).
Batasan yang diajarkan oleh Rasul ini menekankan
pentingnya seorang muslim agar memperhatikan orang di sekitarnya, artinya kita
harus memahami realitas sosial yang ada di lingkungan kita, agar tidak terjadi
kecemburuan sosial. Dalam sebuah sabda lain Rasul mengancam kepada seorang yang
hanya mementingkan dirinya sendiri dalam masalah makanan sebagai orang yang
bukan golongannya, yaitu: “barangsiapa makan sampai kenyang, sementara
tetangganya merintih kelaparan, maka ia bukan termasuk golonganku”.
BAB
3
Hadis Tentang Menuntut
Ilmu
Standar
Kompetensi:
3.
Memahami
Ajaran Al Hadis Tentang Menuntut Ilmu.
|
Kompetensi
Dasar:
3.1
Membaca hadis
tentang keutamaan orang berilmu dengan baik.
3.2
Menerjemahkan
hadis tentang keutamaan orang berilmu.
3.3
Menjelaskan
keutamaan orang-orang berilmu.
3.4
Menunjukkan
perilaku orang berilmu.
|
3.1 Hadis Tentang Menuntut Ilmu
3.1.1
Menyebutkan Arti
Hadits Tentang Menuntut Ilmu
Sebelum
mengartikan arti hadits menuntut ilmu secara keseluruhan terlebih dahulu kita
artikan dulu hadits menuntut ilmu ini secara harfiah :
Arti Hadits
mencari Ilmu secara lengkap:
Dari Abi Darda dia berkata :”Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda” : “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, dan sesungguhnya para
malaikat membentangkan sayapnya karena ridla (rela) terhadap orang yang mencari
ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencali ilmu akan memintakan bagi mereka
siapa-siapa yang ada di langit dan di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di air.
Dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah
seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas seluruh cahaya bintang.
Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi, sesugguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan
tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil bagian untuk
mencari ilmu, maka dia sudah mengambil bagian yang besar (H.R. Ahmad, Tirmidzi,
Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).
3.1.2 Kandungan Hadits Mencari Ilmu
Untuk
memperoleh kesuksesan atau kebahagian baik
di dunia maupun di akhirat bahkan kedua-duanya harus mempergunakan alat,
alat untuk mencapai kesuksesan itu
adalah ilmu. Ilmu ibarat cahaya yang mampu menerangi jalan seseorang untuk mewujudkan
segala cita-citanya,sementara kebodohan akan membawa seseorang kepada kemadlaratan
atau kesengsaraan yang membelenggu hidupnya.
Dalam hadits,
Rasulullah SAW menjelaskan :
1. Allah akan
memberikan berbagai kemudahan kepada para pencari ilmu, seperti kemudahan bergaul,
kemudahan mendapatkan pekerjaan, termasuk kemudahan untuk menuju surga.
2. Para malaikat akan
memberikan perlindungan kepada para pencari ilmu dengan cara meletakkan
sayapnya sebagai bukti kerelaan mereka
terhadap apa yang dilakukan oleh para pencari ilmu.
3. Aktivitas
pencarian ilmu adalah aktivitas yang sangat mulia, sehingga kepada para pencari
ilmu semua makhluk Allah baik yang ada di langit maupun di bumi bahkan
ikan-ikan yang ada di dalam air akan memberikan berbagai bantuan, mereka semua
ikut mendoakan agar orang yang mencari ilmu selalu mendapatkan ampunan dari
Allah SWT.
4. Allah memberikan
keuatamaan kepada para pencari ilmu melebihi keutamaan yang diberikan kepada
para ahli ibadah, ibarat cahaya bulan purnama yang mampu mengalahkan cahaya
seluruh bintang.
5. Para ulama (orang
yang berilmu dan selalu menjadi pencari ilmu) adalah pewaris para Nabi,
merekalah yang akan meneruskan para nabi dalam menegakan kebenaran dan memerangi kezaliman dengan menyebarkan
ilmu yang diterimanya dari nabi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Semua nabi tidaklah mewariskan harta
benda untuk umatnya melainkan mewariskan ilmu untuk kemaslahatan
ummatnya. Oleh karena itu siapapun yang berusaha menuntut ilmu dan berhasil
menguasainya, maka dia telah berhasil mendapatkan bagian yang sangat besar
sebagai modal untuk menghadap Allah SWT.
3.1.3 Keutamaan Orang yang Berilmu
Orang
- orang yang berilmu memiliki keutamaan yang istimewa yang jauh lebih besar
dari pada orang yang gemar beribadah, tetapi hanya memiliki sedikit ilmu. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa orang yang berilmu disamping dirinya sendiri
memilki hati, pemikiran, jiwa yang terang, mereka denga ilmunya juga dapat
menerangi banyak orang. Sedangkan orang - orang yang tidak berilmu, jangankan
menerangi orang lain, menerangi dirinya sendiri saja tidak mampu.
Keutamaan
orang yang memiliki ilmu dengan orang yang tidak memiliki ilmu, diantaranya
yaitu:
1.
Ilmu merupakan warisan para
nabi.
Nabi yang diutus
oleh Allah swt tidaklah mewariskan dan meninggalkan harta untuk dijadikan
sebagai manusia bekal bagi kehidupannya, melainkan mewariskan ilmu yang dapat
menyelamatkan manusia dari kegelapan, menerangi akan tujuan hidup ini yaitu
untuk bisa mengenal Allah swt serta menjalankan ibadah kepadanya dan menjauhi
larangannya.
2. Orang yang berilmu dapat mengantarkannya kepada jalan syahid
diatas kebenaran, adapun dalilnya yaitu firman Allah swt dalam surat Ali Imran: 8.
Dari ayat tersebut
dapat kita ambil intisarinya yaitu orang yang berilmu dan para malaikat
merupakan orang yang bersaksi bahwa Allah swt adalah Tuhan semesta alam yaitu Tuhan yang telah menciptakan alam
semesta beserta isinya.
3. Orang yang berilmu merupakan orang yang terus menerus
mengerjakan perintah Allah swt dan menjauhi larangannya sampai hari kiamat.
Dalil yang menguatkan pendapat diatas yaitu hadist yang diriwayatkan oleh
Muawiyah ra berkata : Aku telah mendengar
Rosulullah saw berkata : barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah swt
maka Allah swt akan memahamkannya didalam urusan agama…… ( HR Bukhori ).
Imam Ahmad bin Hambal ra berkata : apabila mereka itu bukan ahli
hadist, maka saya tidak tau lagi siapakah mereka.
4. Disamping itu ilmu merupakan jalan untuk menuju surga,
sebagaimana dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra berkata : bahwa
Rosulullah saw bersabda : barang siapa yang berjalan untuk mencari ilmu, maka
Allah swt akan memudahkannya jalan untuk menuju surga. (HR Muslim )
5. Allah swt mengangkat derajat orang yang berilmu baik itu didunia
dan diakhirat.
3.1.4 Perilaku Orang Berilmu
Orang yang berilmu itu ialah :
a.
Selalu takut kepada Tuhan pada waktu
sendirian ataupun di muka umum.
b.
Berlaku adil pada waktu sedang marah
ataupun dalam keadaan tenang.
c.
Cermat dalam keadaan miskin mahupun
kaya.
d.
Selalu menyambung persaudaraan.
e.
Memberi kepada orang yang tidak suka
memberi.
f.
Memberi maaf kepada orang yang telah
menganiayanya.
g.
Pada waktu diam dipergunakannya
untuk berfikir.
h.
Bicaranya berisi nasihat.
i.
Apa yang dilihatnya selalu
dijadikannya contoh dan pelajaran.
j.
Selalu mengenangkan kebaikan orang
dan melupakan kesalahan orang lain.
Dalam surah Al-Mujadalah, Allah berfirman :
“Allah akan meninggikan (mengangkat) orang-orang yang beriman di
antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” .
BAB
4
Hadits Tentang
Nabi Daud Yang Menjadi Tukang Kayu
Standar
Kompetensi:
4.
Memahami
Ajaran Al Hadis Tentang Prestasi Kerja
|
Kompetensi
Dasar:
4.1 Manpu membaca hadis tentang prestasi
kerja dengan baik.
4.2 Mampu menerjemahkan hadis tentang
prestasi kerja dengan baik.
4.3 Giat bekerja yang berprestasi.
|
4.1 Hadits Tentang Prestasi Kerja dengan Baik
Hadits Miqdam
bin Ma’dikariba tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri
حدثناإبراهيم ابن موسى أخبرنا عيسى
بن يو نس عن ثورٍ عن خالدبن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال ما اكل احد طعاما قط خيرا من ان ياءكل من عمل يده وان نبي الله
داوودعليه السلام كان ياء كل من عمل يده {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}
“Telah bercerita Ibrahim bin Musa dikabarkan
pada kita Isa bin Yunus dari Tsaurin dari Khalid bin Ma’dan Diriwayatkan dari
al-Miqdam ra : Nabi Saw pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik
dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya
sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya
sendiri.”
Dari hadits
tersebut dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki yang di dapat
dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha diri sendiri. Dengan
mengambil contoh, bahwasanya Nabi Daud as adalah seorang Nabi, akan tetapi
beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat pakaian
(rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada kaumnya.
4.1.1
Giat Bekerja Yang Berpretasi
Bekerja adalah segala
aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
(jasmani dan rohani), dan didalam
mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk
mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah
SWT.
Hadis ini juga
memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup haruslah
berusaha dengan bekerja dalam lapangan
kehidupan yang ia mampu kerjakan, baik
itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi pelayan dan sebagainya.
Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil meminta-minta sebagai pengemis
jalanan. Jadi hadits ini sangat
erat hubungannya dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha
terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan
tangan sendiri.
Demikianlah juga hadis ini memberi isyarat bahwa
agama Islam menyuruh umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat
menilai jelek dan rendah martabat perilaku menjadi pengemis, untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual adalah lebih baik
daripada mengemis. Hal ini dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya, hadis
dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
لِاَنْ يَطُبَ اَحَدُكُمْ جَزْمَةً عَلىَ ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ
اَحَدٌ فَيُعْطِهِ اَوْ يَمْنَعُهُ ( اَخْرَجَهُ اْلبُخَاِرىْ مِنْ كِتَابِ
اْلبُيُوْعِ(
“sesungguhnya
bahwa seseorang di antara kamu yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan di
punggungnya kayu itu (guna memikulnya) adalah lebih baik daripada dia
meminta-minta yang kemungkinan diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini
dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab al-Buyu’).
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizqi
Putra.
Hamka, Tafsir
al-Azhar Jus V, 1983, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, 2004, Jakarta: Lentera Hati, Vol 3, 535.
Hasyim, Muhammad, Tafsir Tematis Al-Qur’an dan
Masyarakat, 2007, Yogyakarta:
Teras.
Al Thabathaba’I, Allamah Sayid Muhammad Husain, Tafsir al-Mizan, 2011, Jakarta: lentera hati, jilid 2.
[1]
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid
An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000, hlm. 4144-4147
[2] Ulama Rabbani ialah ulama yang mengamalkan ilmunya,
dan bijak dalam memimpin umat. Ulama Rabbani disebutkan oleh Imam Bukhari
rahimahullahu di dalam shahih Bukhari di kitabul ilmi ketika beliau menjelaskan
tentang Rabbani: Ia mendidik mereka mulai dari ilmu yang kecil kepada ilmu yang
besar.
[3] Ini orang yang tidak memiliki pondasi, dalam keadan ia
tidak mempunyai hidayah yang tidak bisa membedakan yang haq dan bathil. Ini
yang dinamakan muqallid (orang yang taqlid) yang tidak memiliki ilmu hanya
sekedar ikut-ikutan, tidak memiliki landasan yang kokoh.
[4] Ada dua nama ulama yang namanya mirip. Ibnul Qayyim Al
Jauziyah dan Ibnul Jauzi, keduanya berbeda. Adapun Abul Faraj Ibnul Jauzi di
antara biografinya adalah bahwa beliau berasal dari keluarga yang kaya raya dan
beliau tinggalkan semua itu semata-mata untuk menuntut ilmu. Dia berangkat
menuntut ilmu dengan membawa beberapa potongan roti yang keras, yang tidak bisa
dimakan kecuali dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu. Jika ia lelah dalam
perjalanan maka singgah di pinggiran sungai dan mencelupkan rotinya dan
makanlah ia sembari membaca kitab. Dan beliaupun menjadi salah seorang ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
[5] Prof.
Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur,
Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000, hlm. 1381