Sabtu, 01 November 2014

Materi Qurdis Kelas IX Semester I



BAHAN AJAR
QUR’AN HADITS KELAS IX SEMESTER 1
MADRASAH TSANAWIYAH
Dosen Pembimbing : Bapak Muhammad Samsul Ulum, M.A
BAHAN AJAR
QUR’AN HADITS KELAS IX SEMESTER 1
MADRASAH TSANAWIYAH



Description: C:\Users\ACER\Pictures\logo\UIN Malang\UIN Malang.JPG
 


 







Disusun Oleh :
Innes Durrotun N.                       12110088
M. Aqiel Ridho                    12110094
Warda Putri R.                    12110100
Neneng Kholilatur R.           12110185
Dimas Ramdhan M.K           12110192

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
                                                      2014

Hanya untaian kalimat puji dan syukur yang dapat kami panjatkan kepada Allah SWT tanpa henti. Sebab karena ma’unah dan inayahNya saja proses penyusunan Bahan Ajar Al Qur’an Hadits untuk Kelas IX Semester I yang sekarang berada di tangan pembaca dapat dirampungkan. Sebab, sebesar apapun keinginan dan semangat seorang hamba untuk melakukan sesuatu, namun tanpa pertolongan dan hidayah Allah, mustahil keinginan dan citanya dapat terwujud. Karena pada hakikatnya segala daya dan upaya hanyalah milik Allah SWT.
Dalam penyusunan bahan ajar ini kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin menyelesaikan bahan ajar meskipun tersusun sangat sederhana.
Kami menyadari tanpa kerja sama antara dosen pengampu dan kami sebagai penulis serta beberapa kerabat yang memberi berbagai masukan yang bermanfaat bagi kami demi tersusunnya bahan ajar ini. Untuk itu kami mengucapakan terima kasih kepada pihak yang tersebut diatas yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan bahan ajar ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami berserah diri. Semoga apa yang telah kami upayakan bisa memberikan manfaat yang maksimal dan mendapatkan ridhaNya. Semoga Allah SWT juga membersihkan dan memaafkan niat-niat yang kurang tulus. Adapaun shalawat dan salam, semoga tetap tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Amin.


                                                                                                            Malang, Mei 2014

                                                                                                                        Penulis

DAFTAR ISI



Flowchart: Alternate Process: 1BAB
1         

                                                        
QS. Al-Mujadalah: 11
Standar Kompetensi:
1.    Memahami Ajaran QS. Al-Mujadalah:11 tentang ilmu.
Kompetensi Dasar:
1.1  Membaca QS. Al-Mujadalah:11 dengan tartil.
1.2  Menerjemahkan  QS. Al-Mujadalah: 11 dengan baik dan benar.
1.3  Menyebutkan etika dalam majlis.
1.4  Menjelaskan hubungan antara iman dan ilmu.
1.5  Menganalisis manfaat beriman dan berilmu.
1.6  Menunjukkan perilakku yang senantiasa memiliki semangat keilmuan.

1.1  QS. Al-Mujadalah :11

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
1.1.1 Tafsir Ayat[1]
Yaa ayyuhal la-dziina aamanuu i-dzaa qiila lakum tafassahuu fil majaalisi faf sahuu yafsahilahuu lakum = Wahai semua orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Lapangkanlah tempatmu dalam majelis”, hendaklah kamu melapangkannya, niscaya Allah memberikan kelapangan kepadamu.
            Wahai semua orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya, apabila dikatakan kepadamu: “Lapangkanlah sedikit tempat duduk untuk diduduki oleh saudara-saudaramu,” maka hendaklah kamu berbaik hati memberi ruang kepada saudara-saudaramu supaya Allah memberikan keluasan kepadamu. Sebab, orang yang memberi kelapangan kepada saudaranya di dalam majelisnya, maka Allah memberikan keluasan kepadanya, bahkan memuliakannya, mengingat pembalasan itu sejenis amalan.
            Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun pada hari Jumat. Rasulullah pada hari itu berada di shuffah (emperan masjid Nabawi) yang sempit. Beliau ketika itu sedang menerima tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar yang turut bertempur dalam peperangan Badar. Beberapa orang dari tokoh Badar, diantaranya Tsabit ibn Qais datang terlambat ke tempat itu dan kebetulan telah ada beberapa orang yang mendahului mereka. Tokoh-tokoh Badar itu berdiri di luar berhadapan dengan Rasulullah dan memberikan salam. Kata mereka: “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh.” Nabi menjawab salam itu, kemudian mereka memberikan salam kepada orang-orang yang berada di tempat itu dan dijawab dengan semestinya.tetapi mereka yang baru datang itu tidak diberi tempat duduk, maka terpaksalah mereka berdiri. Melihat hal itu Rasulullah kecewa, maka berkatalah dia kepada orang-orang disekitarnya: “Bangunlah, bangunlah.” Beberapa orang yang berada di sekitar beliau berdiri dan memberikan tempat duduk kepada para tokoh Badar, tetapi dengan perasaan tidak senang. Hal itu dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai celaan. Kata mereka: “Demi Allah, Muhammad tidak adil. Ada orang-orang yang duduk di dekatnya disuruh bangun untuk memberikan tempatnya kepada orang yang datang terlambat.” Berkenaan dengan hal itu turunlah ayat ini.
            Al-Hasan mengatakan bahwa para sahabat Nabi berdesak-desakan di dalam medan pertempuran dan tidak mau memberikan ruang kepada kawan-kawannya, karena mereka ingin cepat-cepat memperoleh syahadah.
Dari ayat ini memperoleh beberapa pengertian, yaitu:
1.      Para sahabat ingin mendapatkan tempat yang dekat dengan Rasul agar mudah mendengarkan pembicaraan beliau.
2.      Menyuruh kita memberikan tempat kepada orang yang baru datang, sekiranya masih mungkin kita lakukan sebagai rasa persahabatan di antara sesama kita.
3.      orang-orang ynag member keluasan kepada hamba-hamba Allah, niscaya Allah akan memberikan kebajikan dunia akhirat kepadanya.
Maka diantara adab-adab Islam adalah: tempat itu untuk siapa yang dahulu datang, tidak boleh orang itu dibangunkan dari tempat duduknya untuk diduduki oleh orang lain. Sepatutnyalah orang yang lebih dahulu duduk, melapangkan tempat duduknya bagi saudaranya yang baru jika keadaan masih mengizinkan.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum bangun berdiri karena kedatangan seseorang. Ada di antara mereka yang membolehkan berdasar hadis Nabi: “Berdirilah karena datang orang yang mengepalaimu.”
Yang dimaksud orang yang mengepalainya adalah hakim dan pemuka-pemuka rakyat. Tetapi jangan pula dijadikan adat yang tetap seperti yang berlaku dewasa ini.
Setengah ulama tidak membenarkan kita bangun karena datang seseorang berdasarkan hadis:
مَن أَ حَبَّ أ ن يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّ جاَ لُ قِيا ما فَليَتَبَوَّ أ مَقعَدَ هُ من انّا ر.
“Barangsiapa suka orang lain berdiri di sekitarnya (menyambut kedatangan dirinya sambil berdiri), maka hendaklah dia bersiap untuk menempati neraka.”
Apabila datang ke sesuatu majelis Nabi, hendaklah mencari tempat di mana masih koosng dan tidak mencari tempat di muka.
Wa i-dzaa qiilan syuzuu fan syuzuu = Apabila dikatakan “berdirilah”, maka hendaklah kamu bersdiri.
Apabila kamu diminta berdiri dari majelis Rasul untuk member ruang kepada orang lain atau kamu disuruh pergi dari majelis Rasul, maka hendaklah kamu berdiri. Sebab, Rasul terkadang ingin bersendiri untuk menyelesaikan urusan-urusan agama atau menunaikan tugas-tugas yang tidak mungkin diselesaikan dengan beramai-ramai.
Para ulama berpendapat bahwa hukum ini bersifat umum. Mereka berkata: “Apabila pimpinan suatu majelis memrintah orang yang berada di dalam majelis ‘Bangunlah’, maka sebaiknya permintaan itu dipenuhi.”
Memang tidak layak bagi orang yang baru datang membangunkan seseorang dengan tujuan agar dia bisa duduk di tempat itu. Diriwayatkan oleh Malik, al-Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi dari Ibn Umar bahwa Nabi bersabda:
لَا يُقِيمُ الرَّ جُلُ الرَّ جُلَ مِن مَجلِسِهِ وَ لَكِن تَوَسَّعٌوا وَتَفَسَّحُوا .
“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya, tetapi hendaklah dia mengatakan: Bersegeralah sedikit.”
Ada yang mengartikan ayat ini, apabila kamu digerakkan untuk mengerjakan sesuatu yang makruf atau sesuatu urusan agama, maka turutilah ajakan itu dan jangan betrayal-ayal.
Yarfa’illahul la-dziina aamanuu minkum wal la-dziina uutul ‘ilma darajaatin = Tuhan akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi.
Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman, yang mematuhi perintah, beberapa derajat di atas orang-orang yang tiadk beriman. Selain itu, Allah mengangkat derajat orang-orang beriman yang berilmu beberapa derajat tingginya daripada orang yang hanya memiliki iman saja.
Walhasil, orang yang dapat mengumpulkan iman dan ilmu, maka Allah mengangkat orang tersebut beberapa derajat karena ilmunya.
Wallaahu bi maa ta’maluuna khabiir = Dan Allah mengetahui semua apa yang kamu kerjakan.
Allah mengetahui semua perbuatanmu, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Allah mengetahui siapa yang taat dan siapa yang durhaka dan memberikan pembalasan atas amalan-amalannya.
1.1.2 Etika Dalam Majelis
Dalam mengikuti majelis (ceramah, diskusi, rapat dll.), hendaklah kita mengikuti etika, adab atau tata tertib. Berikut adalah etika-etika bila kita berada di dalam suatu majelis:
1.      Hendaknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
2.      Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan: Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3.      Jangan sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq’alaih).
4.      Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).
5.      Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang  kecuali seizin keduanya”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6.      Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya”. (HR.Muslim)
7.      Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu ‘anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih”. (Muttafaq’alaih).
8.      Para anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati”. (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9.      Hendaknya setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat”. (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
10.  Anggota majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11.  Tidak melakukan perbuatan memata-matai. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang”. (Muttafaq’alaih).
12.  Disunnatkan menutup majlis dengan do`a  Kaffarat majlis, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca :
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
1.1.3 Hubungan Antara Iman dan Ilmu serta Manfaatnya
Akal yang cerdas dan brilian memang sebuah anugerah. Namun ia bukan merupakan peran satu-satunya dalam membimbing manusia untuk meraih kesejatian. Bahkan tidak sedikit orang yang kebablasan, sehingga menuhankan akal. Dalam kaitan ini, maka iman (agama dan akhlak) mesti terus mengawali kemampuan akal ini, sebagaimana yang diujarkan oleh Umar  bin Khaththab: Modal seorang laki-laki adalah akalnya, kemuliaannya terletak padaagamanya, dan harga dirinya ada pada akhlaknya.´Bila akhlak menjadi parameter dari harga diri seseorang, maka lebih-lebih terhadap ulama. Maka akhlak menjadi bagian yang inheren dan instrinsik dengan dirinya. Dari perenungan Imam Mawardi, setidaknya ada empat akhlak yang harus melekat dalam diri orang yang berilmu dan beriman, yaitu:
1.      Tawadhu dan tidak ujub. Karena Nabi mengatakan: Sesungguhnya ujub itu akan memakan hasanah (kebaikan) sebagaimana api melalap kayu bakar.´ Seorang ulama juga berujar: Barangsiapa yang takabur dan merasa tinggi dengan ilmunya, Allah akan merendahkannya, dan barangsiapa yang tawadhu’ (rendah hati) dengan ilmunya, Allah akan mengangkatnya.
2.      Mengamalkan ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abu Thalib mengingatkan: Orang-orang tidak mau mencari ilmu tidak lain karena mereka melihat sedikitnya orang yang berilmu mengambil manfaat dari ilmunya. Seorang ulama juga berucap: Buah dari ilmu adalah pengamalan, sedang buah amal ialah balasan/pahala.
3.      Tidak pelit dengan ilmu. Orang yang berilmu harus mengajarkan ilmunya kepada yang lain, karena pelit dengan ilmu adalah tercela dan suatu kezaliman. Sebuah ujaran hikmah menyebutkan: Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, maka ia seolah-olah bodoh tentangnya.
4.      Bersifat mendidik dan lemah lembut. Seorang yang berilmu harus selalu member nasihat dan bimbingan dengan lemah lembut, memberikan kemudahan-kemudahan kepada muridnya dan memotivasinya untuk giat belajar. Perbuatan ini mendatangkan pahala besar  baginya. (Makmun Nawawi).
Allah akan mengangkat derajat orang berilmu dan beriman, berilmu dan beriman hanya dimiliki secara konsep oleh orang Islam, kenapa secara konsep dimiliki oleh orang Islam? Karena pada dasarnya Islam menghargai ilmu dan sekaligus memberi kepercayaan dan keunggulan kepada orang beriman yang berilmu. Kenapa orang beriman diberi keunggulan, karena dengan ilmunya dan imannya pengetahuan dan keahliannya akan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Kenapa harus bermanfaaat bagi diri dan orang lain? Jawabnya adalah karena Allah menyuruh untuk yang demikian,. Dengan ilmu dan imanlah pengetahuan dan keahlian seseorang akan berdaya guna. Dengan ilmu dan imannya banyak orang mengambil manfaat dan sekaligus memberi manfaat bagi kebaikan dirinya. Kenapa harus demikian kenapa orang berilmu harus mempunyai iman? Untuk menjawab hal tersebut perlu mencermati ayat tersebut sebelumnya (Mujaadalah:11), dalam ayat tersebut digambarkan secara jelas bahwa hanya orang berilmu dan beriman yang akan diangkat derajatnya secara hakiki, bukan ilusi, derajat yang diberikan Allah kepada orang berilmu dan beriman merupakan sebuah penghargaan yang tinggi di sisi Allah. Berbeda halnya dengan orang berilmu tanpa iman, ia akan mendapatkan manfaat sedikit dari ilmu yang dikuasainya tanpa ada nilai tambah secara spiritual keakheratan, hal ini terjadi diantaranya adalah karena ia melepaskan antara ilmu dengan iman, sehingga secara konsep ia telah keluar dari Kriteria surat Mujaadalah ayat 11 tersebut.
Maka jangan heran kalau orang berilmu tanpa ada iman akan bertindak, berkata dan semua gerak geraiknya selalu membawa bencana, baik untuk diri dan lingkungannya. Kenapa selalu membawa bencana? karena pada hakekatnya ilmu yang ia punya tidak mampu memberi cahaya kepada diri dan orang lain. Kenapa ilmunya tidak membawa cahaya? Karena ilmunya tanpa ada ruh iman, tanpa ada semangat iman sehingga ilmu menjadi redup dari esensi cahaya Ilahi. Maka tidak heran jika ilmu yang dikuasainya hanya membawa nestapa untuk diri dan orang sekelilingnya.
Nestapa diri dan orang lain akibat ilmu yang tidak ada ruh iman lebih lama dan tak berkesudahan, hal ini sangat mungkin terjadi karena ilmu yang ditularkan dan di berikan kepada orang laian tidak membawa esensi cahaya Ilahi, esensi tauhid telah mati dalam jiwa imunya, ilmunya telah menjadi sesosok mayat , yang dingin tanpa ada kesejukan salju iman. Salju dalam ilmu hanya ada pada orang yang berilmu dan beriman. Ilmu yang dibalut dengan iman akan membawa rasa aman bagi diri dan orang lain. Rasa aman ini timbul akibat pancaran cahaya Tuhan yang ada pada ilmu itu. Pancaran tersebut akan selalu bersinar dikala yang memberi ilmu yang menerima ilmu selalu dalam koridor ketuhanan. Ketika orang berilmu selalu dalam kamar ketentuan Tuhan maka, segala perbuatan, tingkah laku, tutur kata dan segala aktifitasnya akan membawa sejuta angin surga, membawa salju kesejukan bagi semua. Kenapa salju ada dalam ilmu? Karena ilmu tersebut disertai cahaya Tuhan, esensi kebenaran dan keagungan Ilahi terpancar dan menjadi semacam ruh ilmu
1.1.4 Perilaku Semangat Keilmuan
Ilmu merupakan hal yang paling mulia yang diinginkan oleh orang-orang yang menginginkannya. Dan ilmu merupakan perkara yang paling mulia yang dituntut oleh orang-orang yang hendak menuntutnya. Dan ilmu adalah hal yang paling bermanfaat bagi orang yang hendak mencarinya dan mengusahakan untuk mendapatkannya. Ada sebuah kisah dari sahabat Nabi, yaitu:
Kumail bin Ziyad berkata, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu menggandeng tanganku kemudian mengajakku keluar ke arah dataran tinggi. Ketika kami telah berada di tempat yang tinggi, Ali bin Thalib radhiallahu’anhu duduk kemudian menarik nafas panjang. Ia berkata:
Wahai Kumail bin Ziyad, sesungguhnya hati adalah wadah, dan hati yang paling baik ialah hati yang paling sadar. Jagalah apa yang saya katakan padamu.
Manusia itu terbagi ke dalam tiga kelompok; ulama Rabbani[2], penuntut ilmu di atas jalan keselamatan, dan orang-orang awam (jelata) pengikut semua penyeru[3]. Kelompok terakhir miring bersama dengan hembusan angin, tidak bersinar dengan cahaya ilmu dan tidak bersandar pada tiang yang kokoh.
Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta. Ilmu bertambah dengan diamalkan, sedang harta berkurang dengan membelanjakannya.
Dan mencintai seorang ‘alim (para ulama) adalah agama yang mana kita beragama dengannya. Ilmu membuat ulama ditaati sepanjang hidupnya dan dikenang sepennggalnya, sedang kebaikan karena harta itu hilang bersamaan dengan hilangnya harta.
Para penyimpan harta telah mati padahal sebenarnya mereka hidup, sedang para ulama abadi sepanjang zaman. Diri mereka telah sirna namun keteladanan mereka tetap melekat di dalam hati. (Sampai di sini perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu)
Berkata Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi[4], "Saya memperhatikan dengan penuh takjub, sesungguhnya segala sesuatu yang berharga itu panjang jalannya dan banyak kelelahan dalam meraihnya."
Maka sesungguhnya ilmu, tatkala ia merupakan sesuatu yang paling berharga maka tidak akan mudah mendapatkannya kecuali dengan perasaan lelah, sedikit tidur, selalu mengulang-ulang pelajaran, dan meninggalkan kelezataan, dan tidak istirahat.
Oleh karena itu berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyah, "Adapun untuk mendapatkan kebahagiaan, maka sesungguhnya tidak akan diwariskan kepadamu kecuali dengan mengerahkan segala kemampuan, ada kesungguhan dalam meraihnya, dan benarnya niat."
Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perilaku seseorang yang memiliki semangat keilmuan akan selalu baik dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Orang yang berilmu akan terus mencari ilmu dengan sungguh-sungguh karena semakin banyak ilmunya, akan semakin senang (semangat) dan giat dalam mencari ilmu, seperti: menghabiskan waktunya untuk membaca, menelaah, menerjemahkan, meniliti, berdiskusi, hingga merumuskan suatu ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia akan mengamalkannya serta mengajarkannya kepada orang yang membutuhkan ilmunya.
1.1.5 Kesimpulan Surat Al Mujaadalah: 11
Dalam ayat ini Allah memerintah kita mengerjakan hal-hal yang membuat timbulnya rasa persahabatan, misalnya melapangkan tempat untuk orang yang datang ke majelis, dan berpindah tempat apabila keadaan menghendaki. Apabila yang demikian itu kita laksanakan, Allah akan meninggikan kedudukan kita di dalam surga dan menjadikan kita di antara orang-orang yang berbakti.

BAB
2         

Flowchart: Alternate Process: 2                                   

QS. Al-Baqarah:168 dan QS. Al-A’raf: 31
Standar Kompetensi:
2.1    Memahami Ajaran QS. Al-Baqarah: 168 tentang makanan halal dan baik.
Kompetensi Dasar:
2.1.1 Membaca QS. Al-Baqarah:168 dengan tartil.
2.1.2 Menerjemahkan QS. Al-Baqarah: 168 dengan baik dan benar.
2.1.3 Menyebutkan makanan halalan thayyiban.
2.1.4 Membedakan makanan halal dengan yang haram sesuai dengan al-Quran.
2.1.5 Menunjukkan perilaku yang senantiasa memakan makanan halalan thayyiban.
Standar Kompetensi:
2.2    Memahami Ajaran QS. Al-A’raf: 31 tentang tentang makanan dan pakaian yang tidak berlebihan.
Kompetensi Dasar:
2.2.1        Membaca QS. Al-A’raf: 31 dengan tartil.
2.2.2        Menerjemahkan QS. AlA’raf: 31 dngan baik dan benar.
2.2.3        Menganalisis batas-batas halal di dalam makanan, minuman ataupun berpakaian.
2.2.4        Menyebutkan pengertian makan, minum, makan dan berpakaian secara berlebih-lebihan.
2.2.5        Menunjukkan perilaku tidak berlebih-lebihan.


2.1 QS. Al-Baqarah: 168

$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ   .
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
2.1.1 Tafsir Ayat
“Hai , makanlah yang halal dan baik dari sebagian makanan yang ada di bumi”.
Makanlah sebagian makanan yang terdapat di bumi, baik dari jenis tumbuh-tumbuhan maupun hewan, yang telah kamu haramkan untuk dirimu, sedangkan Allah tidak mengharamkannya.
Menurut Ibn Abbas, ayat ini diturunkan kepada segolongan bangsa Arab dari Tsaqif, Bani Amir ibn Sha’sha’ah, Bani Khuza’ah dan Bani mudlij, yang telah mengharamkan beberapa jenis makanan untuk dirinya, seperti baha-iir, sawa-iib, washa-iil, dan ham.
Selain yang disebutkan dalam ayat ni, semua makanan boleh dimakan dengan syarat makanan itu baik (bersih,sehat), dan bukan hak atau milik orang lain. Hal-hal yang diharamkan ada dua macam:
1.      Yang diharamkan karena “zat” (barang)-nya. Ini tidak dihalalkan, kecuali bagi orang yang terpaksa memakannya. Misalnya daging babi, bangkai dan darah.
2.      Yang diharamkan karena “sebab”, yaitu harta yang diambil dari hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama, seperti harta yang dirampas oleh penguasa dari rakyat tanpa dasar hukum yang sah, atau diambil oleh rakyat dengan pengaruh atau seizin penguasa, misalnya riba, sogokan (risywah,suap), hasil perampasan, curian, dan penipuan. Kesemuanya itu merupakan harta yang tidak baik.
Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan, karena setan adalah musuhmu yang nyata.
Janganlah kamu  mengikuti jalan setan dalam tipu dayanya, dan dalam meragukan  hati manusia, serta menyuruh berbuat jahat (maksiat) dan keji.
Setan adalah musuh yang nyata bagimu, karena dia merupakan tempat terbitnya lintasan-lintasan yang buruk. Dia pula yang mendorong kamu untuk mengerjakan kejahatan (kemaksiatan) dan perbuatan dosa.
Tuhan mencegah kita mengikuti bisikan-bisikan tentang kebathilan dan kejahatan (kemaksiatan), karena hal demikian merupakan tipu daya setan. Maka, apabila dalam hati seseorang timbul suatu penggerak untuk menolong fakir dan ingin melaksanakannya, tetapi segera terlintas bisikan tentang perlunya penghematan dan menabung, maka hendaklah diketahui, bahwa pikiran selintas itu adalah bisikan setan. Janganlah kamu terkecoh oleh lintasan setan, yang menghalangi kamu untuk berbuat kebajikan.
2.1.2 Makanan Yang Baik dan Halal Sesuai dengan al-Qur’an
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (HR Muslim)
Mengkonsumsi suatu makanan, selama tidak ada dalil yang akurat (shahih) baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits yang menggolongkannya termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah swt, maka sebaiknya kita kembali kepada hukum asal, yakni halal atau mubah.
Makanan yang halal berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam, antara lain:
1.      Tidak termasuk Najis dan Bangkai.
Allah SWT telah mengharamkan darah yang mengalir, babi, dan bangkai (kecuali ikan dan belalang) untuk dimakan oleh manusia, karena hal itu termasuk najis. Dalam hal ini seluruh bentuk najis menjadi haram hukumnya untuk dimakan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam Al Qur’an dalam surat al-An’am: 145.
 “Sesuatu bagian yang dipotong dari binatang itu masih hidup statusnya sama seperti bangkai, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang dipotong dari binatang selagi ia masih hidup adalah bangkai” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hewan yang telah dibunuh oleh hewan buas termasuk jenis bangkai, kecuali hewan tersebut telah dilatih dan pada saat melepaskannya untuk menangkap buruan kita menyebutkan nama Allah SWT, maka hukumnya adalah halal untuk hewan hasil tangkapannya.
Ada dua jenis bangkai dan darah yang dihalalkan untuk dimakan, yaitu yang termasuk dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan yang termasuk dua darah adalah hati dan limpa. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah;
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: ”Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
2.      Tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi fisik.
Yang termasuk makanan ataupun minuman yang memiliki efek bahaya bagi fisik manusia adalah racun. Dan golongan minuman yang memabukkan, menghilangkan pikiran sehat, atau melalaikan adalah termasuk jenis ini. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an dalam surat al-Baqarah: 195.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (HR. Bukhari)
3.      Tidak termasuk jenis hewan buas.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, secara tegas dijelaskan bahwa hewan buas yang bertaring adalah haram dimakan. Yang termasuk hewan buas golongan ini seperti harimau, singa, buaya, serigala, kucing, anjing, kera, ular, dan setiap hewan buas pemangsa. Hewan tersebut di atas juga merupakan hewan yang berkuku tajam, termasuk dari jenis burung (berkuku tajam), yang menggunakan cakarnya dalam memakan mangsa, adalah hewan yang tidak halal untuk dimakan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
4.      Hewan yang berasal dari laut.
Hewan-hewan buruan yang berasal dari laut dan semua makanan dari laut adalah halal untuk dimakan, yakni dari berbagai spesies ikan laut ataupun makhluk hidup air. Karena laut itu sesungguhnya suci airnya dan halal bangkainya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an dalam surat al-Maidah: 96.
Dan hadits Rasulullah SAW, ketika ditanya tentang air laut, “Ia(laut) suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abudawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
5.      Hewan halal yang mati karena disembelih.
Hewan-hewan halal yang halal dimakan jika penyebab kematian hewan tersebut adalah karena disembelih, sehingga jika penyebab kematian hewan tersebut bukan dikarenakan disembelih maka, hewan tersebut termasuk dalam golongan bangkai dan hukumnya tidak halal untuk dimakan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al Qur’an dalam surat al-Maidah: 3.
6.      Hewan halal yang disembelih atas nama Allah.
Hewan yang dasar hukumnya atau hakikatnya halal menjadi sah kehalalan jika hewan tersebut disembelih dengan menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an dalam surat al-An’am: 118-119.
Allah juga mengharamkan hewan-hewan yang disembelih tanpa menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya atau dengan nama selain Allah seperti sesembahan, sesajen ataupun tumbal. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dalam suratal-An’am: 121.
Keadaan Darurat dan Pengecualiannya
Semua binatang  yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam  keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah QS. Al-A’am: 119.
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dalam surat al-Baqarah: 173.
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
2.1.4 Perbedaan Makanan Halal dan Haram Sesuai dengan al-Qur’an
A.    Pengertian Makanan Halal
Makanan yang halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk dikonsumsi kecuali ada  larangan  dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Agama Islam  menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik.  Makanan halal maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai Allah.  Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi tubuh, atau makanan bergizi. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah: 168.
Makanan yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan  tersebut berbahaya bagi kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa mengganggu  kesehatan rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan dibakar di hari kiamat  dengan api neraka.
B.     Jenis Makanan Halal
Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memperolenya, dan halal cara pengolahannya.
1.   Halal zatnya
Makanan yang halal menurut zatnya adalah makanan yang dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di tetapkan kehalalannya dalam kitab suci al-qur’an dan al-hadist. Centoh makanan yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam, kambing, buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, dan lain sebagainya.
2.    Halal cara memperolehnya
Yaitu makanan yang di peroleh dengan cara yang baik dan sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat. Contoh dari cara memperoleh yang baik adalah dengan cara membeli, bertani, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun dari makanan yang diperoleh dari makanan yang batil adalah dengan cara mencuri, merampok, menyamun, dan lain sebagainya.
3.   Halal cara pengolahannya
Yaitu makanan yang semula halal dan akan menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak sesuai dengan syeriat agama. Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang tidak benar menyebabkan makanan itu mmenjadi haram. Contohnya anggur, makanan ini halal tetapi karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman ini menjadi haram. Dalam firman Allah surat Al-A’raf: 157 juga dijelaskan.
C.    Pengertian Makanan Haram
Makanan yang haram adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat untuk dikonsumsi, dan apabila tetap dikonsumsi akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan terpaksa, serta banyak sekali madhratnya dari pada hikmanya, sebagai contoh mengkonsumsi darah yang mengalir ini di haramkan karena itu kotor dan dihindari oleh manusia yang sehat, disampaing itu ada dugaan bahwa darah tersebut dapat menimbulkan bahaya sebagaimana halnya bangkai.
D.  Jenis Makanan Haram
Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis, yaitu:
1.      Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan lainnya.
2.      Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.
Diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri, apalagi kalau sampai membunuh diri-baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, dan sejenisnya
1.      Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’i dan juga bukan hasil perburuan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah: 3.
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas,
a.       Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
b.      Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
c.       Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
d.      An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
e.       Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
f.       Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
g.      Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
h.      Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah.
i.        Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/ terpisah dari tubuhnya.
Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:
1) Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2)  Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu:
” Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa “. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3) Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi SAW bersabda, “Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya.” Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
2. Darah
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am: 145.
Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.

3.      Daging babi
Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma `idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
4.      Khamar
Allah-Subhanahu wa Ta’ala-berfirman dalam QS. Al-Maidah: 90.
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar ra. : “Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram.” Dikiaskan dengan semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.
5.      Semua hewan buas yang bertaring
Dan dalam riwayat Muslim, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram.” Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.
6.      Semua burung yang memiliki cakar
Yaitu semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat (kecuali Imam Malik) dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra :
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar.” (HR. Muslim)
7.      Jallalah.
Yaitu hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain , baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak.
Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad-dalam satu riwayat-dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah. mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar r.a beliau berkata:
Rasulullah SAW melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy)
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:
a.       Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan.
b.      Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar.
8.      Kuda
Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma `bintu Abu Bakar ra, “Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah SAW lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi SAW.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah.
9.      Baghol
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan.
10.  Anjing
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya.“
Dan telah Tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.

11.  Kucing baik yang jinak maupun yang liar
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah Warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.
2.1.3        Perilaku yang Menunjukkan Senantiasa Memakan Makanan Halalan Thayyiban
1.      Tidak berlebihan (isyraf) dalam mengkonsumsi dan tidak memubazirkannya. Berlebihan merupakan budaya yang tidak disukai Allah. Sebagaimana yang disinggung dalam Alquran surat al-An’am: 141. Dan Mubazir adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam islam, bahkan diidentikkan sebagai saudara setan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra’: 26-27.
 Kalau kita dilarang berlebihan, maka seharusnya pula kita makan dan minum menurut kadar cukup. Rasulullah mengisyaratkan dalam sebuah sabdanya: ‘’ Tidak ada suatu tempat yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya. Tetapi bila ia terpaksa melakukannya, maka hendaklah sepertiga ( dari perutnya itu) diisi dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya lagi dengan nafasnya (udara, dikosongkan)” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi).
Batasan yang diajarkan oleh Rasul ini menekankan pentingnya seorang muslim agar memperhatikan orang di sekitarnya, artinya kita harus memahami realitas sosial yang ada di lingkungan kita, agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Dalam sebuah sabda lain Rasul mengancam kepada seorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dalam masalah makanan sebagai orang yang bukan golongannya, yaitu: “barangsiapa makan sampai kenyang, sementara tetangganya merintih kelaparan, maka ia bukan termasuk golonganku”.
2.      Memulainya dengan membaca “basmalah” serta doa. Hal ini merupakan manifestasi ibadah dalam bentuk yang paling minimal. Sebab bila tidak menyebut nama Allah, setan niscaya akan turut makan bersamanya, dan dengan demikian hilanglah nilai ibadahnya. Lantas apa bedanya dengan orang kafir? Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan:
Dan dari Jabir berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang masuk dalam rumahnya dengan mengucapkan “bismillah” ketika masuk dan ketika hendak makan, maka setan berkata kepada temannya: ‘tiada tempat tinggal dan tiada bagian makanan bagimu disini’. Sedangkan bila orang itu masuk tanpa menyebut nama Allah, maka setan akan berkata:’Kamu dapat bermalamdi rumah ini’. Kemudian jika waktu makan tidak menyebut nama Allah, setanpun berkata: ‘kamu dapat bermalam dan makan disini’.” (HR.Muslim).
Jika lupa di awal makan, maka ucapkanlah segera saat teringat. Rasulullah SAW telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah r.a, sebagai berikut: “Bila salah seorang diantara kamu hendak makan maka ucapkanlah “bismillah”, namun bila ia lupa di awalnya, maka ucapkanlah ‘bismillahi awwaluhu wa akhiruhu’(dengan nama Allah dari mula hingga akhir). (HR. Turmidzi)
3.      Tidak boleh mencela makanan. Apa pun yang dihidangkan di depan mata kita, makanan merupakan rezeki dari Allah. Dari Abu Hurairah, ia berkata: ”Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan selamanya. Jika beliau suka dimakannya, dan jika tidak suka ditinggalkannya”.(HR Bukhari dan Muslim)
4.      Menggunakan tangan kanan, tidak dengan tangan kiri. Karena, makan dan minum dengan tangan kiri merupakan cermin dari perbuatan setan yang harus dihindari oleh setiap mukmin yang memiliki komitmen kepada Ilahi, hal ini seiring dengan maksud sebuah hadis: “Apabila seseorang dari kamu makan, maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan apabila ia minum, maka minumlah dengan tangan kanan. Karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya’. (HR. Imam Muslim)
Allah SWT menghubungkan dengan perilaku makan dengan larangan mengikuti setan secara tegas dalam Al Qur’an surat al-Baqarah: 168. Pengertian langkah langkah setan yang dimaksud ayat ini antara lain adalah mengkonsumsi makanan yang tidak halal dan dengan menggunakan tangan kiri.
5.      Sambil duduk, dan tidak berdiri. Hal ini seiring dengan hadis Nabi: Dari Qatadah, dari Anas dari Rasulullah SAW, bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah melarang orang minum sambil berdiri”. Lalu Qatadah bertanya kepada Anas: Kalau makan bagaimana? Ia pun menjawab: “Hal itu (makan dengan cara berdiri) lebih busuk dan jahat”. (HR. Ahmad, Muslim dan Turmidzi)
6.      Jika makan bersama sama, ambillah dari yang dekat dekat saja, sejauh yang dapat di jangkau oleh tangan. Sebagaimana sabda Rasulullah berikut: Dari Umar bin Abi Salamah berkata, ketika saya masih kecil di bawah asuhan Rasulullah SAW, aku bisa menjulurkan tanganku ke tempat makanan, maka Rasulullah SAW bersabda: “Wahai ananda, ucapkanlah ‘bismillah’, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang dekat kepadamu”. (HR.Muslim)
7.      Tenang, perlahan dan tidak terburu buru. Jangan bersikap rakus sehingga tampak mulut penuh dengan suapan, dan jangan meniup-niup makanan atau minuman yang menunjukkan sikap tidak sabar. Dari Ibnu Abas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian minum dengan sekali tegukan seperti minumnya unta, tetapi minumlah dengan dua atau tiga kali tegukan. Ucapkanlah ‘bismillah’ jika kalian minum dan ‘alhamdulillah’ jika kalian selesai minum”. (HR. Turmidzi).
8.      Mengambil secukupnya sehingga dapat di konsumsi habis, jangan tersisa sedikit pun, walau hanya berupa sebutir nasi yang menempel di jari tangan umpamanya, karena hal itu menjadi bentuk pemubaziran yang dilarang. Dari Jabir katanya, Rasulullah SAW menyuruh membersihkan sisa makanan yang di piring maupun yang di jari seraya bersabda: “Sesungguhnya kalian tiada mengetahui di bagian manakah makananmu yang mengandung berkah”.(HR. Muslim)
9.      Haram menggunakan perabotan dari emas dan perak. Rasul pernah melarangnya dengan sabdanya: “Dari Hudzaifah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami minum dan makan dengan perkakas dari emas dan perak. Beliau juga melarang kami (kaum lelaki) berpakaian sutera dan yang dibordir dengan benang sutera dengan sabdanya: “Itu adalah untuk kaum musyrikin didunia dan untuk kalian (nanti, insya Allah) di akhirat”. (HR. Bukhari dan Muslim)
10.  Mengakhiri makan dan minum dengan berdoa sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas rezeki yang telah dikaruniakan, sehingga badan menjadi sehat, dan dapat melakukan ibadah ibadah lainnya yang telah Allah amanahkan.
Demikian beberapa panduan , tata cara dan budaya makan dan minum yang dicontohkan dan diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

2.2    QS. Al-A’raf: 31

* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ  
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
2.2.1 Tafsir Ayat
                     Maksudnya: ialah memakai pakaian yang dapat menutup aurotnya. Lebih sopan lagi kalau pakaian itu selain bersih dan baik , juga indah yang dapat menambah keindahan seseorang dalam beribadah menyembah Allah, seperti orang yang berdandan dengan memakai pakaian yang indah dikala akan pergi ketempat – tempat undangan dan lain-lain, maka untuk pergi ke tempat- tempat beribadat untuk menyembah Allah tentu lebih pantas lagi, bahkan lebih utama memakai pakaian yang indah dan baik, terutama di waktu berkumpul bersama orang banyak di waktu shalat Jum’at, shalat Id. Juga disunat kan memakai wangi-wangian dan pakaian yang terbaik. Dan juga. tiap-tiap akan mengerjakan  thawaf keliling ka’bah atau ibadat-ibadat yang lain. Kemudian dalam ayat ini juga Allah SWT mengatur pula perkara makan dan minum manusia agar tidak berlebih- lebihan hingga pada sampai yang haram. Makanan dan minuman manusia itu harus disempurnakan dan diatur untuk dapat memelihara kesehatannya. Dengan makan dan minum yang dapat memelihara kesehatan maka manusia lebih kuat melakukan ibadat.
                     Ketika kamu akan bersembahyang, pakailah yang baik dan indah. Sungguh, kita wajib berhias menurut uruf (adat) masing-masing ketika mendatangi tempat bersembahyang (masjid). Dengan mengenakan pakaian yang baik ketika kita menyembah Tuhan bersama dengan orang-orang mukmin yang lain akan berada  dalam kondisi yang baik.
Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi dari ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
                     “Apabila kamu sembahyang, hendaklah memakai dua helai kain. Sebab, sesungguhnya kita lebih patut berhias untuk Allah. Jika tidak ada dua helai pakaian (baju dan sarung), hendaklah kamu bersarung apabila bersembahyang. Dan janganlah di antara kamu apabila bersembahyang memakai pakaian seperti yang di pakai oleh yahudi.”
                     Pakailah baju yang bagus ketika mengunjungi masjid dan menunaikan ibadat. Kemudian makan minumlah yang baik-baik, dan jangan berlaku boros, tetapi senantiasa seimbang. Allah yang menjadikan semua nikmat, tetapi tidak menyukai perilaku boros atau berlebih-lebihan dalam sesuatu tindakan.
                     Israf  (berlebih-lebihan) yang tidak diperbolehkan itu termasuk berlebih-lebihan dalam berbelanja, berlebih-lebihan dalam berlaku kikir (sangat kikir), dan berlebih-lebihan dalam pemakaian bebda halal sehingga menjadi haram. Baik dalam makanan ataupun minuman, karena Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan itu.
                     Nabi saw. bersabda:
                     “Makanlah kamu, minumlah kamu, bersedekahlah kamu, dan berpakaianlah kamu dengan cara yang tidak menunjukkah kesombongan dan ujub (keangkuhan) serta tidak boros. Sebab Allah menyukai supaya dia melihat pengaruh nikmat yang diberikan kepada hambanya”.[5]
2.2.2 Batas-batas Halal di dalam Makanan, Minuman ataupun Berpakaian
A. Makanan yang Halal        
Makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mengandung mudharat atau bahaya bagi kehidupan manusia. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah: 168.
Dari ayat di atas maka jelaslah bahwa makanan yang dimakan oleh seorang Muslim hendaknya memenuhi 2 syarat, yaitu:
1.      Halal, artinya diperbolehkan untk dimakan dan tidak dilarang oleh hukum syara’
2.      Baik, artinya makanan itu bergizi dan bermanfaat untuk kesehatan.
Dengan demikian “halal” itu ditinjau dari Islam sedangkan “baik” ditinjau dari ilmu kesehatan.
Ketentuan-ketentuan makanan yang halal dan yang haram telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabdanya, yang artinya:
Rasulullah SAW ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda: Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Selanjutnya, Allah Swt berfirman dalam surat al-A’raf: 157. Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah:
1.      Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan.
2.      Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3.      Semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah.
B. Minuman Yang Halal
Minuman yang halal ialah minuman yang boleh diminum menurut syari’at Islam. Adapun minuman yang halal pada haris besarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.      Semua jenis air atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa maupun aqidah.
2.      Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya telah memabukkan seperti arak yang telah berubah menjadi cuka.
3.      Air atau ciran itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis (mutanajis).
4.      Air atau cairan yang suci itu didaatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam.


C. Batas Berpakaian
Walaupun Islam memberikan kelonggaran dan keleluasaan dalam hal berpakaian, baik dari sisi warna, bahan, maupun jenis dan bentuknya, Islam menetapkan rambu-rambu dan aturan-aturan yang harus diperhatikan dan yang tidak boleh dilanggar. Rambu-rambu tersebut menjadi pembeda antara pakaian syar’i yang menandakan ketakwaan dan keteguhan agama seseorang, dan pakaian nonsyar’i yang melambangkan kecenderungan dan karakter masing-masing orang. Rambu-rambu tersebut ada yang sifatnya anjuran wajib atau sunnah, ada pula yang bersifat larangan haram atau makruh.
1.2.3        Perilaku Tidak Berlebih-lebihan
Berikut ini ada beberapa rambu umum yang patut diperhatikan dan juga mencermnkan periaku yang tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian, yaitu:
1.      Tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian di luar batas kebiasaan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-A’raf: 31.
Berlebih-lebihan (al-israf) ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Melebihi batas kebiasaan dan kadar cukup (kewajaran),
b. Bermewah-mewah di luar batas kewajiban,
c. Melampaui batas halal menuju zona keharaman. (Tafsir as-Sa’di)
Dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Makanlah, minumlah, dan berpakaianlah, selama tidak tercampur dengan sikap israf dan kesombongan.” (Hasan, HR. an-Nasa’i no. 2559 dan Ibnu Majah no. 3605)
Yang dianjurkan adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) dalam hal berpakaian karena Allah Subhanahu wata’ala semata, bukan karena ingin disebut sebagai orang zuhud. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji dengan sabdanya,
“Barang siapa meninggalkan pakaian (kemewahan) karena tawadhu untuk Busana Takwa Syar’i atau Trendi? Allah Subhanahu wata’ala semata padahal dia mampu, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memanggilnya di hari kiamat nanti di hadapan seluruh makhluk untuk bebas memilih perhiasan (pakaian) surga yang diberikan kepada Ahlul Iman yang diinginkan untuk dia pakai.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi [no. 2481] dari Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu)
Tidak berarti Islam melarang berpakaian indah dan bagus, namun yang terpenting adalah tidak ada unsur kesombongan. Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah(2819) meriwayatkan, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menyukai ditampakkannya kebaikan nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” (Shahih lighairihi, HR. at-Tirmidzi no. 2819, Ahmad 3/372, dari Abul Ahwash, dari ayahnya, dan dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, al- Hakim, serta Ibnu Majah)
2.      Kewajiban menutup aurat dalam berpakaian adalah tujuan utama syariat berpakaian. Para ulama juga bersepakat tentang kewajibannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-A’raf: 26.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Seseorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula wanita tidak boleh melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim [no. 338] dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu)
3.      Tidak diperbolehkan menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang buas seperti singa, harimau, dan yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلاَ تَرْكَبُوْا الْخِزَّ وَلاَ النِّمَارَ
“Janganlah kalian beralas sutra, jangan pula kulit harimau.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 4125 dan Ibnu Majah no. 3656 dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (11/147 cet. Darul Fikr tahun 2003M/1423H) disebutkan bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam  melarang menggunakan dan memanfaatkan kulit macan karena ada unsur kesombongan dan kemewahan dalam berhias. Selain itu, pakaian dari kulit macan adalah mode orang ajam (kita dilarang menyerupai orang ajam, yakni Persia dan Romawi, -pen.)
Larangan di atas umum mencakup hewan buas yang disembelih atau belum. Meskipun sangat mungkin, mayoritas penggunaannya ialah saat hewan tersebut telah mati karena menangkapnya dalam keadaan hidup tergolong sulit.
4.      Kaum lelaki diharamkan menggunakan pakaian yang terbuat dari sutra.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ فَإِنَّهُ مَنْ لَبِسَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الآخِرَةِ
“Janganlah kalian menggunakan pakaian sutra, sebab barang siapa menggunakannya di dunia, dia tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. al-Bukhari no. 5834 dan Muslim no. 2069/11)
Al-Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi menjelaskan, pada bab ini (hadits-hadits yang mengharamkan sutra dan emas atas pria, -pen.) diriwayatkan dari Umar, Ali, Uqbah bin Amir, Anas, Hudzaifah, Ummu Hani, Abdullah bin ‘Amr, Imran bin Hushain, Abdullah bin Zubair, Jabir Abu Raihan, Ibnu Umar, dan Watsilah bin al-Asqa’ . (Tuhfatul Ahwadzi 5/315—316, cet. Darul Fikr tahun 2003M/1424H) Ada beberapa hal yang dikecualikan dari larangan, di antaranya:
a.       Seseorang mengidap penyakit kulit, kusta, dan semisalnya yang bisa menjadi lebih ringan dengan menggunakan pakaian sutra. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu  dia berkata,
رَخَّصَ النَّبِيُّ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ  فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا
“Nabi memberi rukhsah kepada Zubair dan Abdurrahman memakai sutra karena penyakit hikkah yang menimpa mereka.” (HR. al-Bukhari no. 5839] dan Muslim no. 2076/25)
Hikkah adalah penyakit kulit sejenis kusta, demikian disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim dan Fathul Bari. Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/376), “Penyebutan hikkah hanyalah contoh, bukan pembatasan.” Al – Imam ath – Thabari rahimahullah  berkesimpulan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa larangan memakai sutra tidak berlaku atas orang yang mengidap penyakit yang bisa diringankan dengan memakai sutra.” (al-Fath, 11/377)
Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, keringanan ini khusus ketika safar (berpergian) saja, karena riwayat Muslim yang lain (no. 2076/24) ada lafadz فِي السَّفَرِ “saat safar.” Namun, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) bahwa rukhshah (keringanan) tersebut berlaku umum, baik saat mukim maupun safar, karena riwayat di atas sifatnya kondisional. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga melemahkan pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i di atas. (Lihat Syarh Shahih Muslim 14/46, cet. I, Darul Kutub Ilmiah, 1995M/1415H)
b.      Diperbolehkan memakai sutra untuk membangkitkan emosi (baca: “Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.”  provokasi) musuh dalam front jihad fi sabilillah. Sebab, pada sebagian lafadz riwayat di atas terdapat kalimat فِي غَزَاةٍ لَهُمَا “dalam perperangan mereka berdua.” (HR. Muslim no. 2076/26, at-Tirmidzi no. 1722)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyatakan setelah meriwayatkan hadits di atas,
فَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا فِي غَزَاةٍ
“Saya melihat sutra tersebut mereka pakai dalam sebuah pertempuran.” (HR. al-Bukhari no. 2919) Al-Imam Muhammad bin Ismail al- Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul: الْحَرِيْرُ لِلْحَرْبِ “Sutra untuk Peperangan.” Al-Imam Muhammad bin ‘Isa at- Tirmidzi rahimahullah juga membuat bab,
مَا جَاءَ فِي الرُّخْصَةِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ فِي الْحَرْبِ
“Rukhshah Memakai Sutra dalam Peperangan.”
c.       Diperbolehkan memakai sutra dalam keadaan darurat. Al-Imam Yahya bin Syaraf an- Nawawi rahimahullah ber-istinbath, “Hadits di atas mengandung dalil diperbolehkannya memakai sutra ketika kondisi darurat, seperti seseorang yang dikejutkan dengan pertempuran dan tidak ada pakaian lain selain sutra.” (Syarah Shahih Muslim 14/45)
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani rahimahullah menambahkan, “Dimasukkan pula dalam (hukum rukhshah), pakaian sutra yang digunakan untuk melindungi tubuh dari panas atau cuaca dingin, apabila tidak dijumpai yang selainnya.” (Fathul Bari 11/377, cet. Darul Fikr, 1996M/1416H)
d.      Diperbolehkan menggunakan sutra untuk hiasan pakaian dan semisalnya dengan syarat tidak lebih dari empat jari. Dalam Shahih Muslim (no. 2069/15) dan at-Tirmidzi (no. 1721), dari Suwaid bin Ghaflah rahimahullah, beliau berkata bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di Jabiyah,
نَهَى نَبِيُّ اللهِ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ إِلاَّ مَوْضِعَ  إِصْبَعَيْنِ أَوْ ثَلاَثٍ أَوْ أَرْبَعٍ
“Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakai sutra kecuali seukuran dua, tiga, atau empat jari.” Al-Hafizh t dalam al-Fath 11/467 menyatakan, “ أو (atau) di sini untuk keragaman dan pilihan.” Al-Imam Yahya an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam riwayat ini, ada kebolehan hiasan sutra pada pakaian apabila tidak lebih dari empat jari. Ini adalah mazhab kami (ulama mazhab Syafi’i, -pen.) dan mazhab jumhur (mayoritas ulama). Diriwayatkan dari Malik rahimahullah bahwa beliau melarangnya. Diriwayatkan pula dari sebagian pengikutnya (ulama mazhab Maliki, -pen.) pendapat yang membolehkan hiasan sutra tanpa batasan empat jari, bahkan mereka berkata, ‘Boleh sebesar apa pun’.” Kedua pendapat tersebut terbantah dengan hadits yang tegas ini. Wallahu a’lam. (Syarah Muslim 14/43)
5.      Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bergambar salib dengan beragam modelnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ  تَصَالِيبُ إِلاَّ نَقَضَهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membiarkan sesuatu pun di rumahnya yang berbentuk salib melainkan beliau musnahkan.” ( HR. al-Bukhari no. 5952)
6.      Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bertuliskan huruf-huruf yang tidak dimengerti maknanya atau ada unsur pengagungan terhadap orang kafir, atau kata-kata yang melanggar syar’i atau etika. Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum pakaian yang mengandung tulisan yang berbahasa Inggris, sedangkan kita tidak tahu, bisa jadi tulisan tersebut mengandung makna yang jelek, apakah hal ini termasuk tasyabuh?”
Beliau menjawab, “Kewajiban kita adalah bertanya tentang tulisan atau huruf/simbol yang ditulis dengan selain bahasa Arab tersebut, bisa jadi mengandung makna yang merusak dan menghancurkan moral.” Tidak diperbolehkan memakai sesuatu yang ada tulisan berbahasa Inggris atau lainnya yang bukan bahasa Arab kecuali setelah orang itu memastikan kebersihan (makna) tulisan tersebut. Tulisan itu tidak mengandung sesuatu yang mengotori kemuliaan, tidak pula berisi pengagungan terhadap orang kafir. Bisa jadi, tulisan tersebut mengandung unsur pengagungan terhadap orang kafir baik itu olahragawan, artis, penemu, maupun yang semisal itu. Apabila tulisan tersebut mengandung pengagungan terhadap orang kafir, maka hukumnya haram, tidak boleh. Begitu pula tulisan yang mengandung makna murahan dan merusak, juga tidak diperbolehkan. Oleh sebab itu, dia harus memastikan makna tulisan tersebut sebelum pakaian tersebut dia kenakan.” (Lihat al-Fatawa fii Ziinati binti Hawa, hlm. 78, karya Ummu Salamah as-Salafiyah al-‘Abbasiyah hafizhahallah)
7.      Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bergambar makhluk bernyawa, baik itu gambar manusia, hewan, maupun burung. Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 5949) dan Shahih Muslim (no. 3933) dari Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلاَ تَصَاوِيرُ
“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, dia berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku, ‘Maukah aku utus engkau dengan sesuatu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus aku dengannya?’
أَنْ لاَ تَدَعْ صُوْرَةً تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
‘Janganlah engkau biarkan ada gambar melainkan engkau musnahkan, atau kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan’.” (Shahih Muslim no. 969)
Perilaku tidak berlebih-lebihan dalam makanan dan minuman, yaitu tidak berlebihan (isyraf) dalam mengkonsumsi dan tidak memubazirkannya. Berlebihan merupakan budaya yang tidak disukai Allah. Sebagaimana yang disinggung dalam Alquran surat al-An’am: 141.
Dan Mubazir adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam islam, bahkan diidentikkan sebagai saudara setan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra’: 26-27.
Kalau kita dilarang berlebihan, maka seharusnya pula kita makan dan minum menurut kadar cukup. Rasulullah mengisyaratkan dalam sebuah sabdanya: ‘’ Tidak ada suatu tempat yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya. Tetapi bila ia terpaksa melakukannya, maka hendaklah sepertiga ( dari perutnya itu) diisi dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya lagi dengan nafasnya (udara, dikosongkan)” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi).
Batasan yang diajarkan oleh Rasul ini menekankan pentingnya seorang muslim agar memperhatikan orang di sekitarnya, artinya kita harus memahami realitas sosial yang ada di lingkungan kita, agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Dalam sebuah sabda lain Rasul mengancam kepada seorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dalam masalah makanan sebagai orang yang bukan golongannya, yaitu: “barangsiapa makan sampai kenyang, sementara tetangganya merintih kelaparan, maka ia bukan termasuk golonganku”.


Flowchart: Alternate Process: 3BAB
3

                                                      
Hadis Tentang Menuntut Ilmu
Standar Kompetensi:
3.      Memahami Ajaran Al Hadis Tentang Menuntut Ilmu.
Kompetensi Dasar:
3.1          Membaca hadis tentang keutamaan orang berilmu dengan baik.
3.2          Menerjemahkan hadis tentang keutamaan orang berilmu.
3.3          Menjelaskan keutamaan orang-orang berilmu.
3.4          Menunjukkan perilaku orang berilmu.

3.1    Hadis Tentang Menuntut Ilmu





3.1.1        Menyebutkan Arti Hadits Tentang Menuntut Ilmu
Sebelum mengartikan arti hadits menuntut ilmu secara keseluruhan terlebih dahulu kita artikan dulu hadits menuntut ilmu ini secara harfiah :
Arti Hadits mencari Ilmu secara lengkap:
Dari Abi Darda dia berkata :”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda” : “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya karena ridla (rela) terhadap orang yang mencari ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencali ilmu akan memintakan bagi mereka siapa-siapa yang ada di langit dan di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di air. Dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi, sesugguhnya para Nabi   tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil bagian untuk mencari ilmu, maka dia sudah mengambil bagian yang besar (H.R. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).
3.1.2 Kandungan Hadits Mencari Ilmu
Untuk memperoleh kesuksesan atau kebahagian baik  di dunia maupun di akhirat bahkan kedua-duanya harus mempergunakan alat, alat untuk mencapai kesuksesan  itu adalah ilmu. Ilmu ibarat cahaya yang mampu menerangi jalan seseorang untuk mewujudkan segala cita-citanya,sementara kebodohan akan membawa seseorang kepada kemadlaratan atau kesengsaraan yang membelenggu hidupnya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW menjelaskan :
1.      Allah akan memberikan berbagai kemudahan kepada para pencari ilmu, seperti kemudahan bergaul, kemudahan mendapatkan pekerjaan, termasuk kemudahan untuk menuju surga.
2.      Para malaikat akan memberikan perlindungan kepada para pencari ilmu dengan cara meletakkan sayapnya  sebagai bukti kerelaan mereka terhadap apa yang dilakukan oleh para pencari ilmu.
3.      Aktivitas pencarian ilmu adalah aktivitas yang sangat mulia, sehingga kepada para pencari ilmu semua makhluk Allah baik yang ada di langit maupun di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di dalam air akan memberikan berbagai bantuan, mereka semua ikut mendoakan agar orang yang mencari ilmu selalu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
4.      Allah memberikan keuatamaan kepada para pencari ilmu melebihi keutamaan yang diberikan kepada para ahli ibadah, ibarat cahaya bulan purnama yang mampu mengalahkan cahaya seluruh bintang.
5.      Para ulama (orang yang berilmu dan selalu menjadi pencari ilmu) adalah pewaris para Nabi, merekalah yang akan meneruskan para nabi dalam menegakan kebenaran  dan memerangi kezaliman dengan menyebarkan ilmu yang diterimanya dari nabi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Semua nabi tidaklah mewariskan harta  benda untuk umatnya melainkan mewariskan ilmu untuk kemaslahatan ummatnya. Oleh karena itu siapapun yang berusaha menuntut ilmu dan berhasil menguasainya, maka dia telah berhasil mendapatkan bagian yang sangat besar sebagai modal untuk menghadap Allah SWT.
3.1.3 Keutamaan Orang yang Berilmu
Orang - orang yang berilmu memiliki keutamaan yang istimewa yang jauh lebih besar dari pada orang yang gemar beribadah, tetapi hanya memiliki sedikit ilmu. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa orang yang berilmu disamping dirinya sendiri memilki hati, pemikiran, jiwa yang terang, mereka denga ilmunya juga dapat menerangi banyak orang. Sedangkan orang - orang yang tidak berilmu, jangankan menerangi orang lain, menerangi dirinya sendiri saja tidak mampu.
Keutamaan orang yang memiliki ilmu dengan orang yang tidak memiliki ilmu, diantaranya yaitu:
1.      Ilmu merupakan warisan para nabi.
Nabi yang diutus oleh Allah swt tidaklah mewariskan dan meninggalkan harta untuk dijadikan sebagai manusia bekal bagi kehidupannya, melainkan mewariskan ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kegelapan, menerangi akan tujuan hidup ini yaitu untuk bisa mengenal Allah swt serta menjalankan ibadah kepadanya dan menjauhi larangannya.
2.      Orang yang berilmu dapat mengantarkannya kepada jalan syahid diatas kebenaran, adapun dalilnya yaitu firman Allah swt dalam surat Ali Imran: 8.
Dari ayat tersebut dapat kita ambil intisarinya yaitu orang yang berilmu dan para malaikat merupakan orang yang bersaksi bahwa Allah swt adalah Tuhan semesta alam yaitu Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
3.      Orang yang berilmu merupakan orang yang terus menerus mengerjakan perintah Allah swt dan menjauhi larangannya sampai hari kiamat. Dalil yang menguatkan pendapat diatas yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Muawiyah ra berkata : Aku telah mendengar Rosulullah saw berkata : barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah swt maka Allah swt akan memahamkannya didalam urusan agama…… ( HR Bukhori ). Imam Ahmad bin Hambal ra berkata : apabila mereka itu bukan ahli hadist, maka saya tidak tau lagi siapakah mereka.
4.      Disamping itu ilmu merupakan jalan untuk menuju surga, sebagaimana dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra berkata : bahwa Rosulullah saw bersabda : barang siapa yang berjalan untuk mencari ilmu, maka Allah swt akan memudahkannya jalan untuk menuju surga. (HR Muslim )
5.      Allah swt mengangkat derajat orang yang berilmu baik itu didunia dan diakhirat.
3.1.4 Perilaku Orang Berilmu
Orang yang berilmu itu ialah :
a.       Selalu takut kepada Tuhan pada waktu sendirian ataupun di muka umum.
b.      Berlaku adil pada waktu sedang marah ataupun dalam keadaan tenang.
c.       Cermat dalam keadaan miskin mahupun kaya.
d.      Selalu menyambung persaudaraan.
e.       Memberi kepada orang yang tidak suka memberi.
f.       Memberi maaf kepada orang yang telah menganiayanya.
g.      Pada waktu diam dipergunakannya untuk berfikir.
h.      Bicaranya berisi nasihat.
i.        Apa yang dilihatnya selalu dijadikannya contoh dan pelajaran.
j.        Selalu mengenangkan kebaikan orang dan melupakan kesalahan orang lain.
Dalam surah Al-Mujadalah, Allah berfirman :


“Allah akan meninggikan (mengangkat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” .

BAB
4

Flowchart: Alternate Process: 4                                               
Hadits Tentang Nabi Daud Yang Menjadi Tukang Kayu
Standar Kompetensi:
4.      Memahami Ajaran Al Hadis Tentang Prestasi Kerja
Kompetensi Dasar:
4.1  Manpu membaca hadis tentang prestasi kerja dengan baik.
4.2  Mampu menerjemahkan hadis tentang prestasi kerja dengan baik.
4.3  Giat bekerja yang berprestasi.

4.1  Hadits Tentang Prestasi Kerja dengan Baik

Hadits Miqdam bin Ma’dikariba tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri
حدثناإبراهيم ابن موسى أخبرنا عيسى بن يو نس عن ثورٍ عن خالدبن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما اكل احد طعاما قط خيرا من ان ياءكل من عمل يده وان نبي الله داوودعليه السلام كان ياء كل من عمل يده {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}
Telah bercerita Ibrahim bin Musa dikabarkan pada kita Isa bin Yunus dari Tsaurin dari Khalid bin Ma’dan Diriwayatkan dari al-Miqdam ra : Nabi Saw pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri.”
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki yang di dapat dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha diri sendiri. Dengan mengambil contoh, bahwasanya Nabi Daud as adalah seorang Nabi, akan tetapi beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat pakaian (rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada kaumnya.
4.1.1        Giat Bekerja Yang Berpretasi
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan  rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Hadis ini juga memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam  lapangan kehidupan yang ia mampu  kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi pelayan dan sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil meminta-minta sebagai pengemis jalanan. Jadi hadits ini sangat erat hubungannya dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri.
Demikianlah  juga hadis ini memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual adalah lebih baik daripada mengemis. Hal ini dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya, hadis dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
لِاَنْ يَطُبَ اَحَدُكُمْ جَزْمَةً عَلىَ ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدٌ فَيُعْطِهِ اَوْ يَمْنَعُهُ ( اَخْرَجَهُ اْلبُخَاِرىْ مِنْ كِتَابِ اْلبُيُوْعِ(
“sesungguhnya bahwa seseorang di antara kamu yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan di punggungnya kayu itu (guna memikulnya) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta yang kemungkinan diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab al-Buyu’).

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizqi Putra.
Hamka, Tafsir al-Azhar Jus V, 1983, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, 2004, Jakarta: Lentera Hati, Vol 3, 535.
Hasyim, Muhammad, Tafsir Tematis Al-Qur’an dan Masyarakat, 2007, Yogyakarta: Teras.
Al Thabathaba’I, Allamah Sayid Muhammad Husain, Tafsir al-Mizan, 2011, Jakarta: lentera hati,  jilid 2.




[1] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000, hlm. 4144-4147
[2] Ulama Rabbani ialah ulama yang mengamalkan ilmunya, dan bijak dalam memimpin umat. Ulama Rabbani disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullahu di dalam shahih Bukhari di kitabul ilmi ketika beliau menjelaskan tentang Rabbani: Ia mendidik mereka mulai dari ilmu yang kecil kepada ilmu yang besar.
[3] Ini orang yang tidak memiliki pondasi, dalam keadan ia tidak mempunyai hidayah yang tidak bisa membedakan yang haq dan bathil. Ini yang dinamakan muqallid (orang yang taqlid) yang tidak memiliki ilmu hanya sekedar ikut-ikutan, tidak memiliki landasan yang kokoh.
[4] Ada dua nama ulama yang namanya mirip. Ibnul Qayyim Al Jauziyah dan Ibnul Jauzi, keduanya berbeda. Adapun Abul Faraj Ibnul Jauzi di antara biografinya adalah bahwa beliau berasal dari keluarga yang kaya raya dan beliau tinggalkan semua itu semata-mata untuk menuntut ilmu. Dia berangkat menuntut ilmu dengan membawa beberapa potongan roti yang keras, yang tidak bisa dimakan kecuali dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu. Jika ia lelah dalam perjalanan maka singgah di pinggiran sungai dan mencelupkan rotinya dan makanlah ia sembari membaca kitab. Dan beliaupun menjadi salah seorang ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
[5] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000, hlm. 1381